Thursday, October 22, 2020

Bagian Ketiga: Pohon Teduh

 

    Jalanan Jakarta tampak sedikit lengang. Kendaraan berlalu lalang tak jadi halangan bahwa kisah Kresna baru akan dimulai dengan awal yang baik pada hari ini meskipun masih aku rangkai dalam pikiranku sendiri. Bahagia sekali duduk di satu kendaraan dengan manusia yang sejak dua tahun lalu kisahnya berusaha aku tulis akan tetapi Tuhan belum berkehendak. Bahkan sejak satu tahun lalu yang katanya ia mengikutiku, nyatanya baru kali ini Tuhan kabulkan.

“San, kita makan dulu ya?” Bisingnya suara angin tak mengalahkan ucapan pemilik suara lembut itu.

“Iya, Kak.”

    Andai dia tau, orang yang sekarang tepat berada di belakangnya, yang sedang mengenakan helm berwarna merah muda tapi wajahnya juga tak kalah merahnya. Duduk di belakang orang yang ia damba dengan satu miliar harapan kebahagiaan.

“Jangan panggil Kak. Cukup Kresna aja.”

            Setelah hampir dua puluh menit menyusuri jalanan Jakarta, kita sampai di tempat makan Bebek Kaleyo yang letaknya dekat stasiun Tebet. Tampak sekelilingku terlihat ramai berbincang dan berpasangan. Aku memandang Kresna yang jauh lebih tinggi dan aku yang sangat mungil di belakangnya. Langkah kita terhenti di salah satu bangku paling belakang.

“Sering ke sini?” Aku harus berani memulai meskipun dengan degup jantung yang tak kalah kencang dari kendaraan yang berlalu lalang di luar sana. Mataku yang terus berpura-pura membaca menu tapi tetap saja aku bisa merasakan dia memerhatikanku.

“Baru pertama kali.” Jawab Kresna dan beberapa saat kemudian pelayan datang untuk mengambil list makanan yang kita pesan.

“San?”

“Hmm?”

“Satu tahun lalu kamu kenapa hanya menunggu teman-temanmu jajan di depan kampus?” Wajah Kresna yang sangat sejuk dan berkharisma itu terlihat menahan tawanya.

“Aku kurang suka jajanan itu”

“Lalu?”

“Lalu apa, Na?”

“Apa yang kamu suka, San?”

“Buku.”

“Itu saja?”

    Jauh dalam lubuk hati dan pikiranku, kenapa saat ini aku sangat ingin menjawab kalau aku menyukainya sejak dua tahun lalu.

“Hmm apa lagi ya? Kamu menanyakan makanan, benda, atau hal lain?” Pertanyaanku tertunda untuk mendapatkan jawaban karena tiba-tiba saja pelayan datang membawa minuman yang aku pesan.

“Aku suka Cappucino, Na” Ucapku lagi.

    Kresna tersenyum manis sekali. Aku rasa semua jenis gula pun akan kalah manisnya. Tapi, setelah aku merenung, kenapa aku selalu memerhatikan sedetil itu ya?

“Hmm kalau kamu punya maag jangan terlalu sering minum kopi, San. Kamu tidak ingat peristiwa delapan bulan lalu? Kamu di klinik kampus terus hampir saja teman-temanmu membawamu ke rumah sakit.” Kresna menasehatiku lagi-lagi dengan wajah yang tampak tenang.

“Na? Kok kamu tau? Kamu sejak satu tahun lalu mengikutiku ya? Kamu memata-matai aku ya?” Perlahan, rasa canggung itu sedikit hilang.

“Banyak kebetulan yang kamu ga sadar, Sania.”

    Ia sibuk. Sibuk dengan hidangan dan minuman yang ada di depannya. Sibuk membuat hatiku penasaran hari ini.

”Lalu, apa bisa aku sebut kebetulan saat kamu tau koridor favoritku, Na?” 

Ia tertawa melihatku yang semakin serius bertanya akan semua rasa penasaran.

“San, sejak satu tahun lalu namamu selalu disebut oleh banyak orang dan kamu ngga sadar. Sifat kamu yang sangat ramah itu menarik perhatian banyak orang. Juga menarik perhatianku. Kalau dibilang aku seperti kebanyakan orang, jelas bukan. Aku lebih berusaha mengikutimu meskipun kamu selalu ngga sadar. Dan itu bikin aku takut kamu gampang diculik.” Kali ini tawanya lebih membawa suasana.

“Kalau begitu benar aku, kan? Kamu selalu mengikutiku.” Tanyaku.

Kresna mengangguk menyisakan ruangan yang sangat ramai dan hingar bingar jalanan yang sama sekali aku tidak merasa terganggu. Aku menikmati hal yang aku benci, yaitu keramaian. Aku menikmati setiap senyum dan tawa yang ia buat. Aku sangat menikmati segelas Cappucino tapi aku lebih suka menikmati wajah teduh Kresna. Tak ada kekurangan dalam sifat, perilaku, dan fisiknya. Lantas kenapa seorang Sania bisa menolak?

“Kresna?” Panggilku. Kali ini Kresna terlihat memilah-milah makanan yang ada di piringnya.

“Kamu gak suka kol gorengnya ya?”

“Bukan. Bukan itu San.”

“Trus? Ada apa?” Aku berhenti sejenak menyisakan setengah porsi nasi yang sudah aku lahap.

“Sekitar dua bulan lagi aku akan pertukaran mahasiswa di Taiwan. Tepat menjelang ujian akhir semester ini dan aku dipermudah dengan ujian lebih dulu sebelum mahasiswa lain.”

“Oh ya? Aku ikut senang, Na. Jangan pernah berpikir aku akan marah kalau rencanamu seperti itu.”

“Aku belum selesai, San. Program magangku di salah satu perusahaan ternama juga sudah diterima. Tempatnya ada di California. Program ini jauh sebelum hari ini terjadi dan minggu lalu yang telah kita lewati takdirnya.”

“Bahkan, kita juga belum memulai apapun kok, Na. Jadi, aku gak masalah akan hal itu. Pergilah selagi kita belum melangkah. Selama itu tidak menyisakan apa pun, aku gak masalah.”

Wajah teduhnya berubah sedikit panik saat mendengar jawabanku yang malas tanpa menatapnya.

“Bahkan, kamu tidak memulai jauh sebelum ini, Na. Harusnya kamu mulai saat satu tahun atau beberapa bulan lalu. Bukan saat ini, saat kita baru akan memulai semua cerita yang aku angan-angankan sejak tadi mengendarai motor dengan setumpuk skenario yang ada di pikiranku.” Ucapku lagi.

“San, aku baru saja memulainya. Dan, aku tidak akan pernah mengakhirinya.”

“Sejak kapan kamu pintar merayu seperti itu, Kresna? Kamu kan laki-laki berkharisma dan berwibawa yang diidam-idamkan mahasiswi adek tingkat.” Aku terkekeh. Suasana yang sudah sedikit tegang perlu aku kembalikan sedikit demi sedikit.

“Aku serius, San. Aku bukan merayu.” Mata lelah dan sayunya sangat jelas ketika ia melepas kacamata.

“Baiklah pohon teduh.” Jawabku.

    Ia tersenyum dan yang aku lihat dari bola matanya hanyalah harapan keseriusan atas ucapan seorang Sania.

****

Tempat tidur dan meja riasku berantakan sejak tadi malam. Aku memilah barang apa yang harus aku bawa pergi untuk keperluan toko. Pagi ini aku akan pergi ke ruko tempat aku memulai bisnisku satu bulan lalu. Enam minggu lalu saat Kresna berhasil memberi sekaligus mematahkan harapan dari sebuah hubungan yang baru saja akan aku tulis sendiri di pikiranku, saat ini aku sedang berusaha menyusul kesuksesannya. Sejatinya disini tidak ada yang tertinggal atau mendahului. Sama sekali tidak.

Jauh dalam lubuk hati seorang Sania yang terkadang kekanakkan, di sana ada bisik seruan kebanggan dariku untuk Pohon Teduh ku. Iya, sekarang aku lebih suka menamainya ‘Pohon Teduh’.

“Bunda, aku pergi ya.” Aku bergegas menghampiri Bunda yang sibuk membuat brownies kesukaanku.

“Kamu gak mau nunggu browniesnya jadi dulu San?”

“Bunda, Sania harus ke toko Bun. Mau lihat udah sejauh mana perkembangannya. Pamit ya, Bun.” Aku berlari ke arah pintu.

“Kresna mana?” Suara Bunda tetap terdengar meskipun Bunda menanyakannya dari dapur.

“Kresna sudah di depan kok, Bun. Aku berangkat ya..”

Suara decitan pintu rumahku bersamaan dengan suara motor vario Kresna yang baru saja dinyalakan.

“Kamu mau langsung ke toko? Gimana sebulan ini perkembangannya?”

Laki-laki yang sering aku sebut pohon teduh tapi kenyataannya dia memiliki kekhawatiran yang lebih riuh. Keputusanku untuk memulai bisnis sebelum ia berangkat ke Taiwan dan Amerika disambutnya dengan banyak pertanyaan persis seperti saat ini. Baru saja aku akan menggunakan helm tapi sederet pertanyaan karena kekhawatirannya selalu muncul lebih dulu dibanding kekhawatiranku pada diriku sendiri.

“Kresna, kamu udah mau ke Taiwan, ke California, masa aku masih di sini aja. Aku juga bisa kan sedikit demi sedikit berkembang lebih baik lagi nyusul kamu.” Jawabku.

“Sania, hal tentang aku bisa pertukaran mahasiswa dan kamu mahasiswi Indonesia itu bukan perlombaan, San.”

Entah yang ke berapa kali Kresna selalu mengingatkanku akan hal itu. Permasalahan dan segala skenario dunia itu bukan perlombaan siapa yang lebih dulu sampai di garis finish. Tapi, semuanya akan tiba di waktu yang tepat. Tidak peru terburu-buru kata Kresna. Yang terpenting kita bisa sampai tujuan.

“Iya, aku paham kok Na. Ayo jalan.” Aku tersenyum.

Jarak antara Bekasi dan Menteng terasa sangat jauh bagiku. Ntah bagaimana menurut Kresna. Ia selalu paling sigap saat aku membutuhkan kendaraan untuk mengurus bisnis yang baru saja aku rintis. Dari pembelian bahan baku dan segala keperluan toko Kresna yang selalu menemaniku. Dia yang paling sering menanyakan keberadaanku. Sedangkan Bunda melepaskan aku sebagaimana anaknya yang sudah seharusnya dewasa dan berkelana.

 ‘Dimana?’

Kata itu yang selalu ia gunakan saat mengetahui bahwa aku sedang tidak berada di rumah. Terlebih lagi Kresna sangat sering menanyakan pada Bunda apakah aku sedang di rumah atau tidak.

Kresna yang aku lihat dahulu, Kresna yang aku pikir adalah manusia dingin, dan Kresna yang aku kira selalu ramah, ternyata tidak sepenuhnya benar. Laki-laki yang mengintaiku sejak satu tahun lalu itu sangat membutuhkan informasi keberadaanku saat tidak bersamanya. Aku yang selalu berpikir bahwa dia tidak peduli tapi kenyataannya dia yang paling mengerti aku. Saat semua orang mengira dia manusia yang paling ramah dan murah senyum, nyatanya dia tetap manusia yang memiliki batas dan waktu kapan dirinya harus tegas dan bijak.

“Kresna?”

    Hembusan angin Jakarta dan motor vario dari Bekasi ini yang akan aku rindukan nanti. Menjelaskan seolah-olah aku yang akan pergi. Padahal laki-laki yang sedang di depanku yang akan melanglang buana.

“Kenapa San?” Kresna membuka kaca helmnya. Memandangku dari kaca spion. Dan senyum manisnya selalu menjadi hal yang paling aku suka.

“Bekasi - Menteng terasa jauh kan ya?” Aku tertawa kecil.

Lalu ia ikut tertawa.

“Kan aku dari Bekasi naik motor San.”

“Kalau nanti kamu di Taiwan, di Amerika, gak akan ada lagi yang antar jemput aku dong?”

Aku bisa melihatnya tersenyum. Ada sedih di bola matanya yang dapat aku rasakan juga.

“San, aku juga pasti rindu. Kamu pasti jadi pertanyaanku di setiap waktu yang berlalu.”

“Kamu belajar ngerayu gitu dari siapa sih, Na?” Aku tertawa. Meski aku sangat mengetahui hatiku tidak sedang baik-baik saja.

“San, program pertukaran mahasiswaku hanya 3 bulan. Dan program magangku hanya 6 bulan.”

“Hampir setahun kan, Na? Belum lagi rencana istimewa lainnya yang belum aku tau.”

Motor Kresna berhenti tepat di bangunan bercat warna cream.

“Sania, aku berani memulai karena aku tau kalau kamu bisa jadi bagian dari cerita ini. Aku yakin kamu selalu jadi orang pertama yang mendukung cita-citaku.” Ia melepas helmku.

“Kamu yakin sama aku Na?”

“Aku percaya, San. Kamu adalah orang yang sangat berpengaruh di perjalananku menuju tujuan. Kamu adalah sosok yang tidak akan bisa tergantikan. Setelah semuanya selesai, aku janji akan pulang.” Ia tersenyum lagi. Dan, senyum manis itu yang akan selalu aku ingat.

No comments:

Post a Comment

Bagian Ketiga: Pohon Teduh

       Jalanan Jakarta tampak sedikit lengang. Kendaraan berlalu lalang tak jadi halangan bahwa kisah Kresna baru akan dimulai dengan awal y...