Tidak terasa hari ini sudah sampai
di hari Sabtu. Kebanyakan orang pergi bersama kekasihnya, beberapa sibuk dengan
rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan, dan beberapa yang lain merenung di
dalam rumah. Ah, persis seperti aku. Dari pagi sampai larut hanya membaca novel
karya Azhar Nurun Ala. Beberapa kali ada
notifikasi dari handphone tak aku hiraukan.
Kalian tau? Sejak Kresna menawarkan
padaku untuk mengantarkan pulang, grup whatsapp yang beranggotakan aku, Ge,
Pra, dan Siska menjadi sangat ramai. Tiga hari lalu saat Kresna menawarkan
tawaran yang sangat meluluhkan hati, aku ceritakan pada mereka atas semua
kebimbanganku kala itu. Aku tidak mengatakan pada mereka dimana kami bisa
berbicara berdua tanpa ada orang. Imbasnya, mereka berhasil membodoh-bodohi
diriku karena menolak tawaran menggiurkan yang semua wanita pasti
menginginkannya.
Kata Pra, “Sania, apa yang ada di pikiran kamu sampai bisa menolak
tawaran untuk pulang bareng sama Kresna?”
Kata Ge, “Kok bisa sih San? Tapi kalau memang mau nolak kan bisa
bilang baik-baik, nggak kabur gitu aja.”
Oiya kalian tau respon Siska? Saat itu dia bilang begini, “San,
manusia aneh deh. Kalau jauh suka berharap dekat. Pas deket, malah kamunya yang
ngejauh.”
Perkataan mereka tidak
ada yang salah. Hampir semuanya benar. Sania memang aneh. Bagaimana bisa sejak
dua tahun lalu, aku yang selalu memandang Kresna dari jauh lalu berhasil
menolaknya mentah-mentah?
Saat Kresna
memberikan tawaran itu padaku lalu dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban
adalah kesalahan besar. Harusnya dia menunggu jawabanku supaya aku tidak
disalahkan, harusnya dia menunggu sampai mulutku mau menjawab. Jika saja ia
menunggu kepastian, jika saja seorang Sania tidak ditinggalkan begitu saja, mungkin
jawabannya akan berbeda. Mungkin saja saat hari Senin itu menjadi hari pertama
Sania diantar oleh laki-laki yang selama ini Ia damba. Mungkin.
Cerita penolakan
itu dimulai saat Kresna pergi meninggalkan Sania dengan buku yang belum sempat aku
ucapkan terima kasih. Bimbang, bingung, bisa aku rasakan sendiri di Lantai 6,
koridor favoritku sejak semester lalu. Tidak ada yang tau, tapi kenapa dia bisa
mengetahui tempat itu? Aku juga belum menemukan jawabannya. Sesaat setelah
Kresna pergi, aku juga kembali bertemu teman-temanku di kantin. Sudah menjadi
rutinitas kami setelah selesai jam kuliah, pasti kami menjadi penunggu kantin
sampai larut malam.
Usai cerita,
mereka membujukku untuk menerima penawaran dari Kresna. Hati kecilku berkata
“Bagaimana bisa seorang laki-laki yang sudah melihatku dari setahun lalu, sudah
memperhatikanku, tapi satu kali pun tidak pernah menyapaku? Padahal ia sangat
sadar aku selalu berada di sekitarnya. Setelah satu tahun ia melihatku dan
memerhatikanku, baru kali ini dia mendekat dan mengajak bicara. Itu pun karena
takdir yang membuat cerita handphoneku tertinggal di stand organisasinya. Kalau
tidak begitu, bukankah dia tidak ada niatan untuk mendekat?”
Sore hari di mana
semua mahasiswa sudah menyelesaikan kelasnya dan beberapa stand organisasi
sudah mulai menutup acara hari ini, aku melihat Kresna menunggu di lobby. Sibuk
sekali ia dengan handphonenya. Beberapa mahasiswi juga terlihat melewatinya
dengan menyapa dan tersenyum.
“Kresna bodoh.” Gumamku pelan sambil tersenyum.
Aku
memerhatikannya dari pintu kantin. Sendirian. Teman-temanku sudah pulang lebih
dulu. Lagipula, apa dia tidak terpikir untuk meminta nomer handphoneku? Hatiku
tidak bisa berbohong kalau aku kasihan melihatnya yang sudah menunggu lebih
dari 2 jam yang lalu. Dua jam dia menungguku dengan tenang di kursi standnya.
Dua jam pula aku memerhatikan dia dari balik pintu kantin dan dia tidak juga
menyerah.
Pukul 19.30 kampus
sudah mulai lengang. Nampaknya, hari ini mahasiswa banyak yang masih belum
teratur jadwal perkuliahannya. Wajar saja, biasanya minggu pertama kuliah
beberapa dosen masih berhalangan hadir dan banyak perubahan jadwal. Di
seberang, aku melihat Kresna masih duduk dengan tenang. Sesekali ia melihat jam
di pergelangan tangannya memastikan bahwa waktu akan cepat membawaku padanya.
Aku sudah mulai
lelah untuk melihatnya segera pulang. Apa ia tidak lelah menunggu sudah hampir
3 jam? Apa aku harus memunculkan diriku di hadapannya? Satu langkah sebelum aku
membuka pintu kantin, Kresna berdiri dari tempat duduknya sambil melihat
keadaan di sekitarnya. Terlihat ia memastikan sekali lagi aku benar-benar tidak
datang dengan membenarkan letak kacamatanya. Raut wajahnya tampak lelah dan
kecewa. Lalu ia melangkah keluar lobby. Dan aku? Aku melangkah keluar 15 menit
setelah Kresna memutuskan untuk pulang tanpaku.
***
Tok Tok Tok. Suara ketukan pintu terdengar dengan jelas. Aku yang
duduk di kursi gantung kesukaanku menoleh seketika. Tempat favorit yang
menenangkanku dari isi kepala yang rumit.
“San, makan dulu” Panggil Kak Fiya dari pintu.
“Nanti dulu kak.”
“Dipanggil Bunda tu. Katanya mau tanya ke kamu.”
Aku menoleh pada Kak Fiya. Berharap
menmemukan jawaban ‘Bunda mau tanya tentang apa?’
Kak Fiya salah satu sepupu
terdekatku yang berasal dari Jambi. Karena dia lolos sebagai Mahasiswi
Universitas Indonesia, ia ikut tinggal dengan Bunda dan juga menemaniku saat
Bunda dan Ayah keluar kota. Sedangkan adikku berkuliah di Jogja. Itulah alasan
kenapa kami jarang sekali bertemu.
“Kamu kenapa, San? Galau terus kamu ih”
“Gakpapa kok, Kak. Lah emang kenapa?” Tanyaku sambil menuruni anak
tangga satu per satu.
“Yakin? Ya sudah kalau kamu belum mau cerita. Cepat sana, kamu
dipanggil Bunda katanya urusan penting. Kak Fey mau ke kampus ada rapat. Lain
kali hati-hati menaruh daily journalmu ya” Ucapnya sambil tertawa jail.
Aku baru ingat kalau hari Jumat lupa menyimpan Daily Book di box buku. Astaga, kecerobohanku
dari dulu memang tidak pernah hilang.
Aku membuka pintu kamar bunda
perlahan, takut mengganggu bunda saat masih ada pekerjaan yang harus
diselesaikannya.
“Bun,” Panggilku dengan lembut sambil membuka pintu secara perlahan
“San, sini duduk. Bunda mau bilang.”
Aku melangkahkan kaki masuk ke kamar Bunda dan Ayah.
“Ini ada paket lagi buat kamu. Tapi tadi yang nganterin temen
kuliah kamu, katanya kamu marah sama dia jadi ini dititipin ke Bunda.”
Diberikannya sebuah paket dengan
sampul coklat disertai alamat lengkap rumahku dan tertera namaku di atasnya.
Ini pasti perbuatan Kresna. Iya kan? Siapa lagi yang tau alamat rumahku selain
dia?
“Bun, makasih ya. Nanti coba Sania hubungi teman Sania.”
Bunda mengangguk, lalu aku berlalu meninggalkan kamar bunda.
“Lain kali jangan marah sama teman ya, San. Baru kali ini Bunda tau
kamu marah sama temanmu. Biasanya kamu kan ngga bias marah.”
Aku menyeringai malu, “Iya Bunda, maaf.”
Sejujurnya tidak ada yang marah di
sini. Kresna ataupun aku. Lagipula beberapa hari lalu aku hanya tidak ingin
diantar pulang olehnya. Aku masih kurang yakin dengan laki-laki yang dikagumi
banyak wanita itu. Meski terlihat begitu meyakinkan, bisa jadi secara diam-diam
dia sudah mematahkan hati banyak wanita sejak dulu.
Aku meletakkan bingkisan besar yang
ukurannya hampir sama dengan kardus air mineral. Perasaanku berkecamuk, senang,
tapi aku tidak tau bagaimana cara menyikapi seorang Kresna.
Aku membuka bingkisan besar itu perlahan. Surat beramplop coklat
klasik tertulis namaku di bagian depannya.
***
Dear, Sania Kayla.
Hai, San? Bagaimana kabarmu? Semoga tetap baik dan sehat selalu.
Kamu tau San? Sejak hari kamu menghilang karena aku mengajakmu
pulang, aku sangat gelisah. Aku tidak tau letak salahku dimana. Aku hanya ingin
menunjukkan padamu bahwa sejak satu tahun yang lalu, aku melihat gadis lugu,
kecil, di depan kampus yang ternyata sedang menunggu teman-temannya membeli
rujak itu menarik perhatianku.
Berkali-kali melihatmu di lobby, bahkan aku sering melihatmu di
lorong koridor lantai 6 sedang membaca buku. Itu kenapa minggu lalu aku berikan
satu buku untuk mengisi waktu senggangmu.
Aku tidak marah saat kamu menghilang. Sungguh. Maka karena itu aku
kirimkan satu box frozen food dan juga pempek untuk keluargamu. Semoga
kamu suka ya. Kebetulan ayah dan ibuku baru saja pulang dari Palembang.
Aku sertakan juga botol minum dengan motif klasik kesukaanmu. Benar
kan? Aku tau, kamu suka yang simple tapi elegan. Dan sekali lagi semoga kamu
suka. Di antara teman-temanmu, aku paling jarang melihatmu membawa air mineral.
Jadi, bawa botol ini saat kuliah.
Sudah dulu, nanti akan aku kirimkan surat lagi jika aku belum
melihatmu berkeliaran di kampus seperti biasa. Harap diterima dengan baik ya
semua ini. Maaf merepotkan dengan melibatkan Bundamu.
Salam,
Kresna Erlangga
***
“San, Bunda sama Ayah kamu dari Palembang? Tumben kamu bawa bekal
pempek banyak banget gini. Biasanya kan kamu paling males bawa bekal.” Tanya Ge
yang asik menikmati pempek dengan Pra dan Siska.
“Bukan, itu dari Kresna.”
“Hah? Gimana ceritanya? Bukannya terakhir Kak Kresna ngajak pulang
tapi kamunya kabur ya?” Kali ini pertanyaan Pra sedikit mengisyaratkan kalau
memang Sania sangat salah sudah menolak Kresna.
“Ya gitu, dia nganter ke rumah.”
Mereka menarik kursi agar lebih dekat denganku dan mendengarkan
dengan serius. Padahal sebelumnya mereka selalu menganggap semua hal bercanda.
“Bagaimana dia bisa tau alamat rumahmu sedangkan kita aja ngga tau
San?” Siska tampak antusias sekali mendengarkan cerita tentang Kresna. Aku
menaikkan bahuku. Tidak ingin menjawab lebih detail lagi. Aku sendiri saja
tidak paham dengan sifat Kresna.
Kelas selalu nampak gaduh. Sekalipun aku menceritakan Kresna dengan
keras pun tak akan ada yang berhasil mendengarnya dengan baik.
“Apa gak sebaiknya kamu bicarain berdua sama Kak Kresna, San?
Menurut aku daripada salah paham lagi dan dia selalu tiba-tiba mengirimkan
sesuatu yang ngga pernah kamu duga sebelumnya dan terlebih kamu kurang suka
cara seperti itu, saranku sih mending kalian berdua bicara.” Nasihat Ge tampak
sekali kedewasaannya. Kali ini entah kenapa aku merasa berbeda. Biasanya aku
antusias sekali menceritakan dan sekadar ingin didengarkan. Biasanya aku
bercerita tanpa mengharap nasihat apapun. Kali ini, nasihat Ge aku terima
dengan telinga dan hati terbuka seolah membenarkan. Toh, apa salah Kresna?
Bagaimana bisa baik-baik saja kalau aku tidak pernah mengutarakan apa yang aku
risaukan sejak lama?
“Iya ya Ge, thanks sarannya. By the way, kalo sudah ada dosen
tolong beri tau aku ya. Aku mau ke bawah sebentar.”
Aku segera berlari menuju lift dan
turun ke lantai dasar. Tujuanku hanya lobby kampus. Barangkali aku menemukan
Kresna disana. Barangkali Kresna menungguku dengan manis di stand lobby nya.
Iya, barangkali harapanku kali ini begitu banyak.
Aku berlari menyeberangi gedung
kampus untuk menuju ke lobby pusat. Aku memperhatikan sekitarku yang lengang
karena ini adalah jam perkuliahan. Aku hampir kehilangan harapan. Tapi, aku tau
kalau organisasi yang diikuti Kresna sering kali membuka stand paling lama dibanding
organisasi lain.
Langkahku mulai aku kendalikan agar
lebih pelan dan mengatur nafasku yang tersengal. Tepat di depan pintu lobby
sosok itu berdiri tegap. Jarak dua meter nampaknya menghentikan langkah kaki
kita berdua. Tidak ada yang maju jua tidak ada yang melangkah pergi
meninggalkan. Kami terdiam. Bisu. Saling menatap. Aku ingin sekali mendekat,
memulai kembali apa yang pernah aku buat masalahnya sendiri.
Ia mendekat langkah demi langkah. Wajahnya
yang terlihat lelah sudah pasti dia akan melewatiku begitu saja. Lagi pula wanita
mana yang berani menolak Kresna? Pasti wanita yang didekatinya langsung meng-iya-kan
tanpa berpikir panjang.
“San?” Ia berhenti di
hadapanku dan memanggilku dengan lembut. Menatap mataku sangat dalam seperti
ada yang ingin ia cari.
“Kamu masih ada jadwal kuliah?” Tanyanya sekali lagi.
“Satu mata kuliah lagi. Selesai jam 13.15” Ada apa denganku? Toh Kresna
tidak mau tau juga aku akan selesai perkuliahan jam berapa pun.
“San,”
“Ya?”
“Jangan langsung pulang ya nanti. Biar aku antar.” Ucapnya dengan sedikit
ragu.
Andai sejak dua tahun lalu dia tau kalau
hal yang seperti ini yang selalu aku tunggu darinya. Sosok nan meneduhkan dan
tidak pernah marah ini yang menutup segala ruang di hati Sania. Yang membuat diriku
ragu, kesal, dan ingin memarahinya saat aku tau kalau dia mengamatiku sejak
satu tahun lalu. Tidak bisa kah satu tahun lalu dia memulai semuanya?
“Tunggu aku di lobby setelah jam perkuliahan selesai. Aku janji
kali ini aku akan datang.”
No comments:
Post a Comment