Thursday, October 1, 2020

Bagian Kedua: Buku Baru

Tidak terasa hari ini sudah sampai di hari Sabtu. Kebanyakan orang pergi bersama kekasihnya, beberapa sibuk dengan rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan, dan beberapa yang lain merenung di dalam rumah. Ah, persis seperti aku. Dari pagi sampai larut hanya membaca novel karya Azhar Nurun Ala.  Beberapa kali ada notifikasi dari handphone tak aku hiraukan.

Kalian tau? Sejak Kresna menawarkan padaku untuk mengantarkan pulang, grup whatsapp yang beranggotakan aku, Ge, Pra, dan Siska menjadi sangat ramai. Tiga hari lalu saat Kresna menawarkan tawaran yang sangat meluluhkan hati, aku ceritakan pada mereka atas semua kebimbanganku kala itu. Aku tidak mengatakan pada mereka dimana kami bisa berbicara berdua tanpa ada orang. Imbasnya, mereka berhasil membodoh-bodohi diriku karena menolak tawaran menggiurkan yang semua wanita pasti menginginkannya.

Kata Pra, “Sania, apa yang ada di pikiran kamu sampai bisa menolak tawaran untuk pulang bareng sama Kresna?”

Kata Ge, “Kok bisa sih San? Tapi kalau memang mau nolak kan bisa bilang baik-baik, nggak kabur gitu aja.”

Oiya kalian tau respon Siska? Saat itu dia bilang begini, “San, manusia aneh deh. Kalau jauh suka berharap dekat. Pas deket, malah kamunya yang ngejauh.”

            Perkataan mereka tidak ada yang salah. Hampir semuanya benar. Sania memang aneh. Bagaimana bisa sejak dua tahun lalu, aku yang selalu memandang Kresna dari jauh lalu berhasil menolaknya mentah-mentah?

            Saat Kresna memberikan tawaran itu padaku lalu dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban adalah kesalahan besar. Harusnya dia menunggu jawabanku supaya aku tidak disalahkan, harusnya dia menunggu sampai mulutku mau menjawab. Jika saja ia menunggu kepastian, jika saja seorang Sania tidak ditinggalkan begitu saja, mungkin jawabannya akan berbeda. Mungkin saja saat hari Senin itu menjadi hari pertama Sania diantar oleh laki-laki yang selama ini Ia damba. Mungkin.

            Cerita penolakan itu dimulai saat Kresna pergi meninggalkan Sania dengan buku yang belum sempat aku ucapkan terima kasih. Bimbang, bingung, bisa aku rasakan sendiri di Lantai 6, koridor favoritku sejak semester lalu. Tidak ada yang tau, tapi kenapa dia bisa mengetahui tempat itu? Aku juga belum menemukan jawabannya. Sesaat setelah Kresna pergi, aku juga kembali bertemu teman-temanku di kantin. Sudah menjadi rutinitas kami setelah selesai jam kuliah, pasti kami menjadi penunggu kantin sampai larut malam.

            Usai cerita, mereka membujukku untuk menerima penawaran dari Kresna. Hati kecilku berkata “Bagaimana bisa seorang laki-laki yang sudah melihatku dari setahun lalu, sudah memperhatikanku, tapi satu kali pun tidak pernah menyapaku? Padahal ia sangat sadar aku selalu berada di sekitarnya. Setelah satu tahun ia melihatku dan memerhatikanku, baru kali ini dia mendekat dan mengajak bicara. Itu pun karena takdir yang membuat cerita handphoneku tertinggal di stand organisasinya. Kalau tidak begitu, bukankah dia tidak ada niatan untuk mendekat?”

            Sore hari di mana semua mahasiswa sudah menyelesaikan kelasnya dan beberapa stand organisasi sudah mulai menutup acara hari ini, aku melihat Kresna menunggu di lobby. Sibuk sekali ia dengan handphonenya. Beberapa mahasiswi juga terlihat melewatinya dengan menyapa dan tersenyum.

“Kresna bodoh.” Gumamku pelan sambil tersenyum.

            Aku memerhatikannya dari pintu kantin. Sendirian. Teman-temanku sudah pulang lebih dulu. Lagipula, apa dia tidak terpikir untuk meminta nomer handphoneku? Hatiku tidak bisa berbohong kalau aku kasihan melihatnya yang sudah menunggu lebih dari 2 jam yang lalu. Dua jam dia menungguku dengan tenang di kursi standnya. Dua jam pula aku memerhatikan dia dari balik pintu kantin dan dia tidak juga menyerah.

            Pukul 19.30 kampus sudah mulai lengang. Nampaknya, hari ini mahasiswa banyak yang masih belum teratur jadwal perkuliahannya. Wajar saja, biasanya minggu pertama kuliah beberapa dosen masih berhalangan hadir dan banyak perubahan jadwal. Di seberang, aku melihat Kresna masih duduk dengan tenang. Sesekali ia melihat jam di pergelangan tangannya memastikan bahwa waktu akan cepat membawaku padanya.

            Aku sudah mulai lelah untuk melihatnya segera pulang. Apa ia tidak lelah menunggu sudah hampir 3 jam? Apa aku harus memunculkan diriku di hadapannya? Satu langkah sebelum aku membuka pintu kantin, Kresna berdiri dari tempat duduknya sambil melihat keadaan di sekitarnya. Terlihat ia memastikan sekali lagi aku benar-benar tidak datang dengan membenarkan letak kacamatanya. Raut wajahnya tampak lelah dan kecewa. Lalu ia melangkah keluar lobby. Dan aku? Aku melangkah keluar 15 menit setelah Kresna memutuskan untuk pulang tanpaku.

***

Tok Tok Tok. Suara ketukan pintu terdengar dengan jelas. Aku yang duduk di kursi gantung kesukaanku menoleh seketika. Tempat favorit yang menenangkanku dari isi kepala yang rumit.

“San, makan dulu” Panggil Kak Fiya dari pintu.

“Nanti dulu kak.”

“Dipanggil Bunda tu. Katanya mau tanya ke kamu.”

Aku menoleh pada Kak Fiya. Berharap menmemukan jawaban ‘Bunda mau tanya tentang apa?’

Kak Fiya salah satu sepupu terdekatku yang berasal dari Jambi. Karena dia lolos sebagai Mahasiswi Universitas Indonesia, ia ikut tinggal dengan Bunda dan juga menemaniku saat Bunda dan Ayah keluar kota. Sedangkan adikku berkuliah di Jogja. Itulah alasan kenapa kami jarang sekali bertemu.

“Kamu kenapa, San? Galau terus kamu ih”

“Gakpapa kok, Kak. Lah emang kenapa?” Tanyaku sambil menuruni anak tangga satu per satu.

“Yakin? Ya sudah kalau kamu belum mau cerita. Cepat sana, kamu dipanggil Bunda katanya urusan penting. Kak Fey mau ke kampus ada rapat. Lain kali hati-hati menaruh daily journalmu ya” Ucapnya sambil tertawa jail. Aku baru ingat kalau hari Jumat lupa menyimpan Daily Book di box buku. Astaga, kecerobohanku dari dulu memang tidak pernah hilang.

Aku membuka pintu kamar bunda perlahan, takut mengganggu bunda saat masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya.

“Bun,” Panggilku dengan lembut sambil membuka pintu secara perlahan

“San, sini duduk. Bunda mau bilang.”

Aku melangkahkan kaki masuk ke kamar Bunda dan Ayah.

“Ini ada paket lagi buat kamu. Tapi tadi yang nganterin temen kuliah kamu, katanya kamu marah sama dia jadi ini dititipin ke Bunda.”

Diberikannya sebuah paket dengan sampul coklat disertai alamat lengkap rumahku dan tertera namaku di atasnya. Ini pasti perbuatan Kresna. Iya kan? Siapa lagi yang tau alamat rumahku selain dia?

“Bun, makasih ya. Nanti coba Sania hubungi teman Sania.”

Bunda mengangguk, lalu aku berlalu meninggalkan kamar bunda.

“Lain kali jangan marah sama teman ya, San. Baru kali ini Bunda tau kamu marah sama temanmu. Biasanya kamu kan ngga bias marah.”

Aku menyeringai malu, “Iya Bunda, maaf.”

Sejujurnya tidak ada yang marah di sini. Kresna ataupun aku. Lagipula beberapa hari lalu aku hanya tidak ingin diantar pulang olehnya. Aku masih kurang yakin dengan laki-laki yang dikagumi banyak wanita itu. Meski terlihat begitu meyakinkan, bisa jadi secara diam-diam dia sudah mematahkan hati banyak wanita sejak dulu.

Aku meletakkan bingkisan besar yang ukurannya hampir sama dengan kardus air mineral. Perasaanku berkecamuk, senang, tapi aku tidak tau bagaimana cara menyikapi seorang Kresna.

Aku membuka bingkisan besar itu perlahan. Surat beramplop coklat klasik tertulis namaku di bagian depannya.

***

Dear, Sania Kayla.

    Hai, San? Bagaimana kabarmu? Semoga tetap baik dan sehat selalu.

    Kamu tau San? Sejak hari kamu menghilang karena aku mengajakmu pulang, aku sangat gelisah. Aku tidak tau letak salahku dimana. Aku hanya ingin menunjukkan padamu bahwa sejak satu tahun yang lalu, aku melihat gadis lugu, kecil, di depan kampus yang ternyata sedang menunggu teman-temannya membeli rujak itu menarik perhatianku.

    Berkali-kali melihatmu di lobby, bahkan aku sering melihatmu di lorong koridor lantai 6 sedang membaca buku. Itu kenapa minggu lalu aku berikan satu buku untuk mengisi waktu senggangmu.

    Aku tidak marah saat kamu menghilang. Sungguh. Maka karena itu aku kirimkan satu box frozen food dan juga pempek untuk keluargamu. Semoga kamu suka ya. Kebetulan ayah dan ibuku baru saja pulang dari Palembang.

    Aku sertakan juga botol minum dengan motif klasik kesukaanmu. Benar kan? Aku tau, kamu suka yang simple tapi elegan. Dan sekali lagi semoga kamu suka. Di antara teman-temanmu, aku paling jarang melihatmu membawa air mineral. Jadi, bawa botol ini saat kuliah.

    Sudah dulu, nanti akan aku kirimkan surat lagi jika aku belum melihatmu berkeliaran di kampus seperti biasa. Harap diterima dengan baik ya semua ini. Maaf merepotkan dengan melibatkan Bundamu.

 

Salam,

 

Kresna Erlangga

 

***

“San, Bunda sama Ayah kamu dari Palembang? Tumben kamu bawa bekal pempek banyak banget gini. Biasanya kan kamu paling males bawa bekal.” Tanya Ge yang asik menikmati pempek dengan Pra dan Siska.

“Bukan, itu dari Kresna.”

“Hah? Gimana ceritanya? Bukannya terakhir Kak Kresna ngajak pulang tapi kamunya kabur ya?” Kali ini pertanyaan Pra sedikit mengisyaratkan kalau memang Sania sangat salah sudah menolak Kresna.

“Ya gitu, dia nganter ke rumah.”

        Mereka menarik kursi agar lebih dekat denganku dan mendengarkan dengan serius. Padahal sebelumnya mereka selalu menganggap semua hal bercanda.

“Bagaimana dia bisa tau alamat rumahmu sedangkan kita aja ngga tau San?” Siska tampak antusias sekali mendengarkan cerita tentang Kresna. Aku menaikkan bahuku. Tidak ingin menjawab lebih detail lagi. Aku sendiri saja tidak paham dengan sifat Kresna.

    Kelas selalu nampak gaduh. Sekalipun aku menceritakan Kresna dengan keras pun tak akan ada yang berhasil mendengarnya dengan baik.

“Apa gak sebaiknya kamu bicarain berdua sama Kak Kresna, San? Menurut aku daripada salah paham lagi dan dia selalu tiba-tiba mengirimkan sesuatu yang ngga pernah kamu duga sebelumnya dan terlebih kamu kurang suka cara seperti itu, saranku sih mending kalian berdua bicara.” Nasihat Ge tampak sekali kedewasaannya. Kali ini entah kenapa aku merasa berbeda. Biasanya aku antusias sekali menceritakan dan sekadar ingin didengarkan. Biasanya aku bercerita tanpa mengharap nasihat apapun. Kali ini, nasihat Ge aku terima dengan telinga dan hati terbuka seolah membenarkan. Toh, apa salah Kresna? Bagaimana bisa baik-baik saja kalau aku tidak pernah mengutarakan apa yang aku risaukan sejak lama?

“Iya ya Ge, thanks sarannya. By the way, kalo sudah ada dosen tolong beri tau aku ya. Aku mau ke bawah sebentar.”

Aku segera berlari menuju lift dan turun ke lantai dasar. Tujuanku hanya lobby kampus. Barangkali aku menemukan Kresna disana. Barangkali Kresna menungguku dengan manis di stand lobby nya. Iya, barangkali harapanku kali ini begitu banyak.

Aku berlari menyeberangi gedung kampus untuk menuju ke lobby pusat. Aku memperhatikan sekitarku yang lengang karena ini adalah jam perkuliahan. Aku hampir kehilangan harapan. Tapi, aku tau kalau organisasi yang diikuti Kresna sering kali membuka stand paling lama dibanding organisasi lain.

Langkahku mulai aku kendalikan agar lebih pelan dan mengatur nafasku yang tersengal. Tepat di depan pintu lobby sosok itu berdiri tegap. Jarak dua meter nampaknya menghentikan langkah kaki kita berdua. Tidak ada yang maju jua tidak ada yang melangkah pergi meninggalkan. Kami terdiam. Bisu. Saling menatap. Aku ingin sekali mendekat, memulai kembali apa yang pernah aku buat masalahnya sendiri.

Ia mendekat langkah demi langkah. Wajahnya yang terlihat lelah sudah pasti dia akan melewatiku begitu saja. Lagi pula wanita mana yang berani menolak Kresna? Pasti wanita yang didekatinya langsung meng-iya-kan tanpa berpikir panjang.

“San?”  Ia berhenti di hadapanku dan memanggilku dengan lembut. Menatap mataku sangat dalam seperti ada yang ingin ia cari.

“Kamu masih ada jadwal kuliah?” Tanyanya sekali lagi.

“Satu mata kuliah lagi. Selesai jam 13.15” Ada apa denganku? Toh Kresna tidak mau tau juga aku akan selesai perkuliahan jam berapa pun.

“San,”

“Ya?”

“Jangan langsung pulang ya nanti. Biar aku antar.” Ucapnya dengan sedikit ragu.

Andai sejak dua tahun lalu dia tau kalau hal yang seperti ini yang selalu aku tunggu darinya. Sosok nan meneduhkan dan tidak pernah marah ini yang menutup segala ruang di hati Sania. Yang membuat diriku ragu, kesal, dan ingin memarahinya saat aku tau kalau dia mengamatiku sejak satu tahun lalu. Tidak bisa kah satu tahun lalu dia memulai semuanya?

“Tunggu aku di lobby setelah jam perkuliahan selesai. Aku janji kali ini aku akan datang.”

No comments:

Post a Comment

Bagian Ketiga: Pohon Teduh

       Jalanan Jakarta tampak sedikit lengang. Kendaraan berlalu lalang tak jadi halangan bahwa kisah Kresna baru akan dimulai dengan awal y...