Sunday, September 27, 2020

Lembar Pertama


    Panggil aku “San” si gadis lugu dan paling kecil di antara teman-temanku yang kini mulai berani membagikan rahasia besarnya tentang cinta. Tentang laki-laki yang pernah merubah dirinya dan hidupnya.

Hari ini adalah hari pertama masuk kuliah setelah liburan panjang. Rasanya rindu sekali berkumpul dan bercerita dengan teman-teman dekatku. Aku yang sudah duduk di semester tiga ingin memulai kegiatanku bukan lagi sebagai mahasiswi kupu-kupu alias kuliah pulang. Keputusanku untuk mengikuti recruitment panitia sebuah event di salah satu organisasi kampus membawa langkah kaki ku ke lobby dan ikut berkerumun layaknya mahasiwa baru. Jangan ditanya seperti apa rasanya berdesakan, nyatanya tidak jauh berbeda seperti di stasiun. Aku paling tidak suka keramaian yang membuat kepalaku pening.

“Sania?”

“Hah? Aku?”

“Iya kamu, Sania Kayla kan? Handphone kamu ketinggalan”

Aku mengangguk lalu menatapnya dengan wajah lugu dan heran kenapa laki-laki itu bisa tau namaku. Laki-laki yang tidak terlalu tampan tapi berkharisma berjalan mendekatiku.

“Oh oke, thank you kak” Aku canggung menerimanya.

“Hai, maaf ya tadi aku tau nama kamu dari list pendaftaran organisasiku. Besok boleh main ke stand lagi kok.”

“Hmmm? Baik, terima kasih ya kak.”

”Lain kali hati-hati ya”

Aku menganggukkan kepalaku dan dia pun berlalu menghampiri teman-temannya yang sedari tadi memperhatikan kita berdua. Sorak sorai bercandaan mereka yan ditujukan untuk dia dan menyebut namaku berulang kali juga terdengar jelas. Aku tau dia adalah kakak kelasku di SMA hingga kini di bangku kuliah. Ia mahasiswa teladan yang hampir semua dosen mengenali namanya. Aku terkejut saat dia mengetahui namaku, karena selama aku mengetahui tentang dirinya, hanya aku yang melihatnya. Di sekolah dia tidak pernah melihatku karena memang kami beda jurusan.

“San?’ Aku terkejut mendengar seseorang memanggilku yang ternyata Gea.

“Iya? Ada apa? Kaget aku”

“San, kakak yang tadi siapa?”

“Yang nganterin handphone maksud kamu?”

“Iya”

“Oh, dia namanya Kresna. Dulu dia juga kakak kelas di SMA tapi dia tidak mengenaliku karena beda jurusan. Dan kebetulan sekarang dia satu kampus dan satu jurusan juga.”

Kalau saja boleh jujur, laki-laki itu tak pernah hilang dari ingatanku, tak pernah lupa. Selama 2 tahun mengetahuinya adalah sebuah kebahagiaan jika waktu dengan baik memperlihatkan dia meskipun waktu tidak pernah membuatnya melihat padaku. Sebenarnya, tidak ada hal yang spesial dari dirinya. Layaknya gunung akan terlihat sama di mata semua orang, dan hanya beberapa orang yang hanya bisa memandang gunung yang sebenarnya memiliki sejuta keindahan saat mendakinya. Maka, seperti itulah aku melihatnya.

****

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 akan tetapi belum ada tanda-tanda dosen akan datang. Ruangan kelas tampak gaduh dengan kesibukan masing-masing dan beberapa orang belum hadir karena barangkali mereka telah menebak kelas kali ini akan terlambat. Dan beruntungnya, benar begitu. Sedangkan teman-temanku yaitu Prada, Gea, dan Siska masih sibuk membicarakan Kresna, senior yang mereka lihat tadi pagi.

“San, kamu ga pernah suka orang ya?” Tanya Prada.

“Hah? Kamu pikir aku gak normal ya?”

“Bukan, habisnya terlalu aneh, dua tahun kamu tau Kak Kresna tapi ga ada perasaan apa-apa. Aku dengar, dia dekat dengan Sherin angkatan kita.”

“Biasa saja.” Jawabku.

Pra melirikku dengan tajam memberi isyarat bahwa dia tak suka dengan jawabanku. Kalau saja Pra tau, setiap perasaan itu tidak harus diungkapkan, bukan? Aku hanya takut, perasaan yang berumah tidak selamanya membuat nyaman. Aku hanya takut, saat aku pulang ke rumah itu aku tidak disambut dengan bahagia dan suka cita. Aku khawatir akan ekspektasiku bahwa makna pulang adalah sebenar-benar tempat istirahat. Bukan untuk sesaat. Akan tetapi, aku mau selama aku lelah aku bisa pulang padanya.

“Aku lebih suka sendiri, Pra.” Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulutku.

“Maksudnya?”

“Aku lebih suka sendiri jadi aku ga bersalah karena ga bergantung sama orang lain.”

Betul kan? Bergantung pada orang lain memang tidak pernah seindah yang kita bayangkan. Lagipula apa baiknya? Tidak mandiri, tidak juga bisa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Sebagai anak pertama, aku banyak diajarkan tentang memelihara tanggung jawab oleh kehidupan dan keriuhannya di setiap detik yang berlalu.

Sampai pukul 14.00 dosen kami tak kunjung hadir dan kami diinfokan bahwa beliau memang berhalangan untuk mengisi kelas hari ini. Aku dan Gea memutuskan untuk ke perpustakaan, sedangkan Siska dan Prada memutuskan untuk mencari jajanan di depan kampus. Saat itu aku lupa, untuk menuju perpustakaan kami harus melewati banyak stand organisasi di lobby kampus yang 3 hari ini berlangsung expo organisasi untuk mahasiswa baru. Kemarin aku mengunjungi Himpunan Manajemen untuk mendaftarkan diri sebagai panitia acara yang akan diselenggarakan bulan depan. Aku juga tak pernah lupa kalau Kresna adalah salah satu dari sekian banyak anggota dalam himpunan itu. Tenang, ingatanku tentang dia aku jamin akurat. Dan permasalahanku saat ini adalah aku akan melewati stand itu lagi dan ada kemungkinan bahwa aku akan bertemu dengan Kresna. Lagi.

“Ge?” Panggilku saat langkah kami menuju ke lobby.

“Kenapa San?”

“Ada jalan lain gak?”

“Hah?” Gea menggumam heran.

“Kenapa San? Takut ketemu Kresna ya?” Tanyanya.

Aku menatapnya, mengharap ada iba darinya. Hati kecilku tau, pasti tidak akan mudah melewati lobby kampus meski banyak manusia berlalu lalang, meski aku tau semua orang memperhatikan dia, dan meski aku tau waktu tidak akan pernah membuatnya melihat padaku juga.

“San..Ke perpustakaan mau lewat jalan manapun tetap harus lewat lobby dulu kan?” Jawab Gea.

“Oiya ya” Aku pasrah dan mengikuti langkah Ge yang sudah siap memasuki lobby kampus beberapa saat lagi.

Dua belas langkah lagi menuju pintu lobby tapi rasanya sudah tak karuan. Please San, ini sama seperti dua tahun silam saat tanpa sengaja kamu melihatnya. Bisa kan seperti itu? Memang rasanya sesak, tapi bukankah hebat jika bisa dikendalikan? Oke, tarik nafas, hembuskan..

Lobby kampus tampak ramai dengan mahasiswa baru yang sedang mencari organisasi untuk mengembangkan softskill yang mereka punya. Aku menunduk mengikuti langkah kaki Gea sambil  berharap tidak melewati depan stand milik Kresna. Sudah cukup setelah dua tahun silam sejak di bangku kelas 11 terakhir aku melihatnya. Aku rasa cukup untuk mengaguminya. Lagipula apa dayaku yang masih berusaha diam? Berusaha untuk melupakan semua yang aku rasakan.

“Kan, gak ada Kresna kok San. Kamu terlalu khawatir deh. Sebegitu takutnya ya?” Ungkap Gea usai kita sampai di lift lantai 4.

“Malu aja tadi kan handphoneku ketinggalan.”

“Dia pasti lagi ada kelas San. Sekarang kan memang jam perkuliahan.” Ucapnya. Aku mengangguk sambil melangkah karena lift kami sudah tiba di lantai 4.

****
Aku bukan anak yang mengisi waktu luangku dengan belajar seperti mahasiswa pintar lainnya. Aku dan Gea sengaja ke perpustakaan hanya untuk mencari wifi untuk menonton film atau hanya sekadar mencari hal-hal yang kami suka di laman internet.

Pandanganku tertuju pada bilik yang berada di pojok perpustakaan dan ingin meminta pada Gea untuk duduk di bilik yang cukup luas itu. Niat itu aku urungkan saat melihat Sherin, dua temannya, dan tentunya ada Kresna.

Ia tampak seperti dulu, memakai kacamata, memakai kemeja, dan rapih. Tidak putih dan tinggi. Tapi juga tidak pendek dan tidak gempal. Postur tubuh yang sedikit berisi dan memiliki standar tinggi pria pada umumnya. Jikalau boleh dibilang, dari tampilan saja sudah terlihat dia anak yang pintar.

“San, di ujung kanan dekat jendela saja ya?” Tanya Gea.

Aku mengangguk dan mengikuti langkah Ge yang semakin jauh dari tempat keberadaan Kresna. Ah, Sani, apa masih belum lelah juga mengejar manusia yang tidak pernah sadar? Bukankah sudah cukup?

***

Di ujung koridor lantai 6 gedung kampus aku menikmati waktu luangku dengan membaca novel yang baru saja datang kemarin. Aku tak pernah tau pengirimnya siapa, karena memang dengan sengaja tidak dicantumkan. Awalnya aku pikir paketnya salah alamat, tapi pada bagian paketnya tertuju “untuk Sania” dengan alamat rumah yang juga tepat. Di dalamnya aku menemukan secarik kertas yang isinya,

“Teruntuk Sania,

Semoga suka dengan bukunya.

Semoga buku ini selalu bisa menemani kamu saat membutuhkan teman bicara.”

Berkali-kali aku membuka setiap lembarnya berharap menemukan siapa pengirim novelnya. Tapi nihil, tidak ada tanda apapun. Aku memutuskan untuk memulai membacanya saja. Siapa pun itu, aku ingin berterima kasih karena sudah mengirimkan novel di waktu yang tepat.

“Hai San..”

“Hmmm..?” Panggilan Gea yang membuatku tetap fokus pada novel baruku.

“San, seru gak novelnya?” Tanyanya lagi.

Aku menoleh kaget. Dugaanku salah, dia bukan Gea. Panggilan itu dari Kresna. Aku membelalak masih tidak percaya. Sejak kapan manusia ini melihatku duduk di koridor favoritku? Bahkan di antara teman-temanku, hanya Gea yang tau tempat ini, itu pun ia terus mengeluh kalau tempat ini kurang nyaman karena memang tidak ada pendingin ruangan.

”Oh hai Kak. Aku pikir siapa.” Aku meringis. Canggung sekali rasanya, sejak dua tahun lalu kagum, baru kali ini dia melihat ke arahku. Sendiri pula.

“Gimana? Suka sama bukunya?” Tanyanya.

Ada apa dengan manusia ini? Suka sekali membuat jantungku berdetak tak karuan? Suka sekali membuat orang lain menatapnya lebih lama karena heran atas perbuatannya yang tidak pernah diduga? Suka sekali membuat semua orang melihat kagum padanya?

“Hah? Ini darimu, Kak? Sejak kapan Kamu tau alamat rumahku?” Aku harus menguak rasa penasaranku saat ini juga.

“Sejak aku melihatmu.” Ia melirik ke arahku.

“Kita kan baru bertemu dua minggu lalu saat expo.” Gumamku berbohong padanya. Padahal aku melihatnya sejak dua tahun lalu.

“Aku melihatmu sejak satu tahun lalu. Saat kamu masih semester satu. Masih lugu, juga polos.” Ungkapnya.

Aku tertawa mendengar pernyataan itu. Sedikit tidak percaya.

“Kalau dua minggu lalu aku baru tau namamu itu memang sungguhan.” Lanjutnya.

“Lalu? Kakak bisa tau alamat rumahku dari mana kalau baru tau namaku dua minggu lalu?”

Aku masih sibuk membuka setiap lembaran bukunya untuk menghilangkan degup jantung yang tidak karuan. Semoga saja dia tidak mendengarnya.

“Aku mengikutimu sampai rumahmu.”

“Please Kak, jangan bercanda. Itu gak akan mungkin.” Aku gusar.

“Loh? Aku gak berbohong, San. Kalau sore ini kamu memintaku untuk mengantarmu sampai depan rumah tanpa melihat maps aku bisa loh.”

Aku dibuat tercengang oleh laki-laki di sampingku. Sejak kapan dia melihat ke arahku? Sejak kapan dia menatap ke arah bola mataku sedalam itu?

Kresna beranjak dari tempat duduknya di sebelahku seraya menatap lorong lantai 6 yang hanya ada Office Boy membersihkan jendela. Ia berbalik ke arahku yang masih nyaman duduk di lantai. Lantas, aku bergegas menutup novelnya dan mengikutinya berdiri. Tepat di hadapannya, dengan jarak 1 meter, aku berusaha tetap menunduk meskipun aku menyadari tinggi tubuhku paling tidak hanya sepundaknya.

“Pulang nanti aku antar ya. Biar kamu gak mengira kalau aku bohong.” Celetuknya.

“Hm? Gak usah, Kak. Aku biasa naik transjakarta kok.”

Bohong kalau aku tidak mau. Aku hanya khawatir setelah hari ini dia tidak muncul lagi di hadapanku. Bisa jadi, ini kali pertama juga terakhir dia melihat ke arahku.

“Sudah, ga apa. Nanti aku tunggu di lobby saja ya, di stand organisasiku. Anggap saja hari ini kamu libur jalan ke halte yang panjang itu. Kebetulan hari ini aku bisa pulang sampai malam.” Ia tersenyum.

Ia meninggalkanku tanpa ada jawaban dariku. Apakah dia tidak takut? Bagaimana kalau sore nanti aku tidak datang? Apa dia tidak khawatir ucapannya yang meluluhkan itu bisa ditolak oleh Sania? Ia meninggalkanku bahkan sebelum aku mengucapkan terima kasih untuk novel yang diberikannya.

Bagian Ketiga: Pohon Teduh

       Jalanan Jakarta tampak sedikit lengang. Kendaraan berlalu lalang tak jadi halangan bahwa kisah Kresna baru akan dimulai dengan awal y...