Jalanan Jakarta tampak sedikit lengang. Kendaraan berlalu lalang
tak jadi halangan bahwa kisah Kresna baru akan dimulai dengan awal yang baik pada
hari ini meskipun masih aku rangkai dalam pikiranku sendiri. Bahagia sekali
duduk di satu kendaraan dengan manusia yang sejak dua tahun lalu kisahnya
berusaha aku tulis akan tetapi Tuhan belum berkehendak. Bahkan sejak satu tahun
lalu yang katanya ia mengikutiku, nyatanya baru kali ini Tuhan kabulkan.
“San, kita makan dulu ya?” Bisingnya suara angin tak mengalahkan
ucapan pemilik suara lembut itu.
“Iya, Kak.”
Andai dia tau, orang yang sekarang tepat berada di belakangnya,
yang sedang mengenakan helm berwarna merah muda tapi wajahnya juga tak kalah
merahnya. Duduk di belakang orang yang ia damba dengan satu miliar harapan
kebahagiaan.
“Jangan panggil Kak. Cukup Kresna aja.”
Setelah hampir dua
puluh menit menyusuri jalanan Jakarta, kita sampai di tempat makan Bebek Kaleyo
yang letaknya dekat stasiun Tebet. Tampak sekelilingku terlihat ramai
berbincang dan berpasangan. Aku memandang Kresna yang jauh lebih tinggi dan aku
yang sangat mungil di belakangnya. Langkah kita terhenti di salah satu bangku
paling belakang.
“Sering ke sini?” Aku harus berani memulai meskipun dengan degup
jantung yang tak kalah kencang dari kendaraan yang berlalu lalang di luar sana.
Mataku yang terus berpura-pura membaca menu tapi tetap saja aku bisa merasakan
dia memerhatikanku.
“Baru pertama kali.” Jawab Kresna dan beberapa saat kemudian
pelayan datang untuk mengambil list makanan yang kita pesan.
“San?”
“Hmm?”
“Satu tahun lalu kamu kenapa hanya menunggu teman-temanmu jajan di
depan kampus?” Wajah Kresna yang sangat sejuk dan berkharisma itu terlihat
menahan tawanya.
“Aku kurang suka jajanan itu”
“Lalu?”
“Lalu apa, Na?”
“Apa yang kamu suka, San?”
“Buku.”
“Itu saja?”
Jauh dalam lubuk hati dan pikiranku, kenapa saat ini aku sangat
ingin menjawab kalau aku menyukainya sejak dua tahun lalu.
“Hmm apa lagi ya? Kamu menanyakan makanan, benda, atau hal lain?” Pertanyaanku
tertunda untuk mendapatkan jawaban karena tiba-tiba saja pelayan datang membawa
minuman yang aku pesan.
“Aku suka Cappucino, Na” Ucapku lagi.
Kresna tersenyum manis sekali. Aku rasa semua jenis gula pun akan
kalah manisnya. Tapi, setelah aku merenung, kenapa aku selalu memerhatikan
sedetil itu ya?
“Hmm kalau kamu punya maag jangan terlalu sering minum kopi, San.
Kamu tidak ingat peristiwa delapan bulan lalu? Kamu di klinik kampus terus
hampir saja teman-temanmu membawamu ke rumah sakit.” Kresna menasehatiku
lagi-lagi dengan wajah yang tampak tenang.
“Na? Kok kamu tau? Kamu sejak satu tahun lalu mengikutiku ya? Kamu
memata-matai aku ya?” Perlahan, rasa canggung itu sedikit hilang.
“Banyak kebetulan yang kamu ga sadar, Sania.”
Ia sibuk. Sibuk dengan hidangan dan minuman yang ada di depannya.
Sibuk membuat hatiku penasaran hari ini.
”Lalu, apa bisa aku sebut kebetulan saat kamu tau koridor favoritku, Na?”
Ia tertawa melihatku yang semakin serius bertanya akan semua rasa penasaran.
“San, sejak satu tahun lalu namamu selalu disebut oleh banyak orang
dan kamu ngga sadar. Sifat kamu yang sangat ramah itu menarik perhatian banyak
orang. Juga menarik perhatianku. Kalau dibilang aku seperti kebanyakan orang,
jelas bukan. Aku lebih berusaha mengikutimu meskipun kamu selalu ngga sadar.
Dan itu bikin aku takut kamu gampang diculik.” Kali ini tawanya lebih membawa
suasana.
“Kalau begitu benar aku, kan? Kamu selalu mengikutiku.” Tanyaku.
Kresna mengangguk menyisakan ruangan
yang sangat ramai dan hingar bingar jalanan yang sama sekali aku tidak merasa
terganggu. Aku menikmati hal yang aku benci, yaitu keramaian. Aku menikmati
setiap senyum dan tawa yang ia buat. Aku sangat menikmati segelas Cappucino
tapi aku lebih suka menikmati wajah teduh Kresna. Tak ada kekurangan dalam
sifat, perilaku, dan fisiknya. Lantas kenapa seorang Sania bisa menolak?
“Kresna?” Panggilku. Kali ini Kresna terlihat memilah-milah makanan yang ada di
piringnya.
“Kamu gak suka kol gorengnya ya?”
“Bukan. Bukan itu San.”
“Trus? Ada apa?” Aku berhenti sejenak menyisakan setengah porsi
nasi yang sudah aku lahap.
“Sekitar dua bulan lagi aku akan pertukaran mahasiswa di Taiwan.
Tepat menjelang ujian akhir semester ini dan aku dipermudah dengan ujian lebih
dulu sebelum mahasiswa lain.”
“Oh ya? Aku ikut senang, Na. Jangan pernah berpikir aku akan marah
kalau rencanamu seperti itu.”
“Aku belum selesai, San. Program magangku di salah satu perusahaan
ternama juga sudah diterima. Tempatnya ada di California. Program ini jauh
sebelum hari ini terjadi dan minggu lalu yang telah kita lewati takdirnya.”
“Bahkan, kita juga belum memulai apapun kok, Na. Jadi, aku gak masalah
akan hal itu. Pergilah selagi kita belum melangkah. Selama itu tidak menyisakan
apa pun, aku gak masalah.”
Wajah teduhnya berubah sedikit panik saat mendengar jawabanku yang
malas tanpa menatapnya.
“Bahkan, kamu tidak memulai jauh sebelum ini, Na. Harusnya kamu
mulai saat satu tahun atau beberapa bulan lalu. Bukan saat ini, saat kita baru
akan memulai semua cerita yang aku angan-angankan sejak tadi mengendarai motor
dengan setumpuk skenario yang ada di pikiranku.” Ucapku lagi.
“San, aku baru saja memulainya. Dan, aku tidak akan pernah
mengakhirinya.”
“Sejak kapan kamu pintar merayu seperti itu, Kresna? Kamu kan
laki-laki berkharisma dan berwibawa yang diidam-idamkan mahasiswi adek
tingkat.” Aku terkekeh. Suasana yang sudah sedikit tegang perlu aku kembalikan
sedikit demi sedikit.
“Aku serius, San. Aku bukan merayu.” Mata lelah dan sayunya sangat
jelas ketika ia melepas kacamata.
“Baiklah pohon teduh.” Jawabku.
Ia tersenyum dan yang aku lihat dari bola matanya hanyalah harapan
keseriusan atas ucapan seorang Sania.
****
Tempat tidur dan meja riasku
berantakan sejak tadi malam. Aku memilah barang apa yang harus aku bawa pergi
untuk keperluan toko. Pagi ini aku akan pergi ke ruko tempat aku memulai
bisnisku satu bulan lalu. Enam minggu lalu saat Kresna berhasil memberi
sekaligus mematahkan harapan dari sebuah hubungan yang baru saja akan aku tulis
sendiri di pikiranku, saat ini aku sedang berusaha menyusul kesuksesannya.
Sejatinya disini tidak ada yang tertinggal atau mendahului. Sama sekali tidak.
Jauh dalam lubuk hati seorang Sania
yang terkadang kekanakkan, di sana ada bisik seruan kebanggan dariku untuk
Pohon Teduh ku. Iya, sekarang aku lebih suka menamainya ‘Pohon Teduh’.
“Bunda, aku pergi ya.” Aku bergegas menghampiri Bunda yang sibuk
membuat brownies kesukaanku.
“Kamu gak mau nunggu browniesnya jadi dulu San?”
“Bunda, Sania harus ke toko Bun. Mau lihat udah sejauh mana
perkembangannya. Pamit ya, Bun.” Aku berlari ke arah pintu.
“Kresna mana?” Suara Bunda tetap terdengar meskipun Bunda menanyakannya
dari dapur.
“Kresna sudah di depan kok, Bun. Aku berangkat ya..”
Suara decitan pintu rumahku bersamaan dengan suara motor vario
Kresna yang baru saja dinyalakan.
“Kamu mau langsung ke toko? Gimana sebulan ini perkembangannya?”
Laki-laki yang sering aku sebut
pohon teduh tapi kenyataannya dia memiliki kekhawatiran yang lebih riuh.
Keputusanku untuk memulai bisnis sebelum ia berangkat ke Taiwan dan Amerika
disambutnya dengan banyak pertanyaan persis seperti saat ini. Baru saja aku
akan menggunakan helm tapi sederet pertanyaan karena kekhawatirannya selalu
muncul lebih dulu dibanding kekhawatiranku pada diriku sendiri.
“Kresna, kamu udah mau ke Taiwan, ke California, masa aku masih di
sini aja. Aku juga bisa kan sedikit demi sedikit berkembang lebih baik lagi nyusul
kamu.” Jawabku.
“Sania, hal tentang aku bisa pertukaran mahasiswa dan kamu
mahasiswi Indonesia itu bukan perlombaan, San.”
Entah yang ke berapa kali Kresna
selalu mengingatkanku akan hal itu. Permasalahan dan segala skenario dunia itu
bukan perlombaan siapa yang lebih dulu sampai di garis finish. Tapi, semuanya
akan tiba di waktu yang tepat. Tidak peru terburu-buru kata Kresna. Yang
terpenting kita bisa sampai tujuan.
“Iya, aku paham kok Na. Ayo jalan.” Aku tersenyum.
Jarak antara Bekasi dan Menteng
terasa sangat jauh bagiku. Ntah bagaimana menurut Kresna. Ia selalu paling
sigap saat aku membutuhkan kendaraan untuk mengurus bisnis yang baru saja aku
rintis. Dari pembelian bahan baku dan segala keperluan toko Kresna yang selalu
menemaniku. Dia yang paling sering menanyakan keberadaanku. Sedangkan Bunda
melepaskan aku sebagaimana anaknya yang sudah seharusnya dewasa dan berkelana.
‘Dimana?’
Kata itu yang selalu ia gunakan saat
mengetahui bahwa aku sedang tidak berada di rumah. Terlebih lagi Kresna sangat
sering menanyakan pada Bunda apakah aku sedang di rumah atau tidak.
Kresna yang aku lihat dahulu, Kresna
yang aku pikir adalah manusia dingin, dan Kresna yang aku kira selalu ramah,
ternyata tidak sepenuhnya benar. Laki-laki yang mengintaiku sejak satu tahun
lalu itu sangat membutuhkan informasi keberadaanku saat tidak bersamanya. Aku
yang selalu berpikir bahwa dia tidak peduli tapi kenyataannya dia yang paling
mengerti aku. Saat semua orang mengira dia manusia yang paling ramah dan murah
senyum, nyatanya dia tetap manusia yang memiliki batas dan waktu kapan dirinya
harus tegas dan bijak.
“Kresna?”
Hembusan angin Jakarta dan motor vario dari Bekasi ini yang akan
aku rindukan nanti. Menjelaskan seolah-olah aku yang akan pergi. Padahal
laki-laki yang sedang di depanku yang akan melanglang buana.
“Kenapa San?” Kresna membuka kaca helmnya. Memandangku dari kaca
spion. Dan senyum manisnya selalu menjadi hal yang paling aku suka.
“Bekasi - Menteng terasa jauh kan ya?” Aku tertawa kecil.
Lalu ia ikut tertawa.
“Kan aku dari Bekasi naik motor San.”
“Kalau nanti kamu di Taiwan, di Amerika, gak akan ada lagi yang
antar jemput aku dong?”
Aku bisa melihatnya tersenyum. Ada sedih di bola matanya yang dapat
aku rasakan juga.
“San, aku juga pasti rindu. Kamu pasti jadi pertanyaanku di setiap
waktu yang berlalu.”
“Kamu belajar ngerayu gitu dari siapa sih, Na?” Aku tertawa. Meski
aku sangat mengetahui hatiku tidak sedang baik-baik saja.
“San, program pertukaran mahasiswaku hanya 3 bulan. Dan program
magangku hanya 6 bulan.”
“Hampir setahun kan, Na? Belum lagi rencana istimewa lainnya yang
belum aku tau.”
Motor Kresna berhenti tepat di bangunan bercat warna cream.
“Sania, aku berani memulai karena aku tau kalau kamu bisa jadi
bagian dari cerita ini. Aku yakin kamu selalu jadi orang pertama yang mendukung
cita-citaku.” Ia melepas helmku.
“Kamu yakin sama aku Na?”
“Aku percaya, San. Kamu adalah orang yang sangat berpengaruh di
perjalananku menuju tujuan. Kamu adalah sosok yang tidak akan bisa tergantikan.
Setelah semuanya selesai, aku janji akan pulang.” Ia tersenyum lagi. Dan, senyum
manis itu yang akan selalu aku ingat.