Thursday, October 22, 2020

Bagian Ketiga: Pohon Teduh

 

    Jalanan Jakarta tampak sedikit lengang. Kendaraan berlalu lalang tak jadi halangan bahwa kisah Kresna baru akan dimulai dengan awal yang baik pada hari ini meskipun masih aku rangkai dalam pikiranku sendiri. Bahagia sekali duduk di satu kendaraan dengan manusia yang sejak dua tahun lalu kisahnya berusaha aku tulis akan tetapi Tuhan belum berkehendak. Bahkan sejak satu tahun lalu yang katanya ia mengikutiku, nyatanya baru kali ini Tuhan kabulkan.

“San, kita makan dulu ya?” Bisingnya suara angin tak mengalahkan ucapan pemilik suara lembut itu.

“Iya, Kak.”

    Andai dia tau, orang yang sekarang tepat berada di belakangnya, yang sedang mengenakan helm berwarna merah muda tapi wajahnya juga tak kalah merahnya. Duduk di belakang orang yang ia damba dengan satu miliar harapan kebahagiaan.

“Jangan panggil Kak. Cukup Kresna aja.”

            Setelah hampir dua puluh menit menyusuri jalanan Jakarta, kita sampai di tempat makan Bebek Kaleyo yang letaknya dekat stasiun Tebet. Tampak sekelilingku terlihat ramai berbincang dan berpasangan. Aku memandang Kresna yang jauh lebih tinggi dan aku yang sangat mungil di belakangnya. Langkah kita terhenti di salah satu bangku paling belakang.

“Sering ke sini?” Aku harus berani memulai meskipun dengan degup jantung yang tak kalah kencang dari kendaraan yang berlalu lalang di luar sana. Mataku yang terus berpura-pura membaca menu tapi tetap saja aku bisa merasakan dia memerhatikanku.

“Baru pertama kali.” Jawab Kresna dan beberapa saat kemudian pelayan datang untuk mengambil list makanan yang kita pesan.

“San?”

“Hmm?”

“Satu tahun lalu kamu kenapa hanya menunggu teman-temanmu jajan di depan kampus?” Wajah Kresna yang sangat sejuk dan berkharisma itu terlihat menahan tawanya.

“Aku kurang suka jajanan itu”

“Lalu?”

“Lalu apa, Na?”

“Apa yang kamu suka, San?”

“Buku.”

“Itu saja?”

    Jauh dalam lubuk hati dan pikiranku, kenapa saat ini aku sangat ingin menjawab kalau aku menyukainya sejak dua tahun lalu.

“Hmm apa lagi ya? Kamu menanyakan makanan, benda, atau hal lain?” Pertanyaanku tertunda untuk mendapatkan jawaban karena tiba-tiba saja pelayan datang membawa minuman yang aku pesan.

“Aku suka Cappucino, Na” Ucapku lagi.

    Kresna tersenyum manis sekali. Aku rasa semua jenis gula pun akan kalah manisnya. Tapi, setelah aku merenung, kenapa aku selalu memerhatikan sedetil itu ya?

“Hmm kalau kamu punya maag jangan terlalu sering minum kopi, San. Kamu tidak ingat peristiwa delapan bulan lalu? Kamu di klinik kampus terus hampir saja teman-temanmu membawamu ke rumah sakit.” Kresna menasehatiku lagi-lagi dengan wajah yang tampak tenang.

“Na? Kok kamu tau? Kamu sejak satu tahun lalu mengikutiku ya? Kamu memata-matai aku ya?” Perlahan, rasa canggung itu sedikit hilang.

“Banyak kebetulan yang kamu ga sadar, Sania.”

    Ia sibuk. Sibuk dengan hidangan dan minuman yang ada di depannya. Sibuk membuat hatiku penasaran hari ini.

”Lalu, apa bisa aku sebut kebetulan saat kamu tau koridor favoritku, Na?” 

Ia tertawa melihatku yang semakin serius bertanya akan semua rasa penasaran.

“San, sejak satu tahun lalu namamu selalu disebut oleh banyak orang dan kamu ngga sadar. Sifat kamu yang sangat ramah itu menarik perhatian banyak orang. Juga menarik perhatianku. Kalau dibilang aku seperti kebanyakan orang, jelas bukan. Aku lebih berusaha mengikutimu meskipun kamu selalu ngga sadar. Dan itu bikin aku takut kamu gampang diculik.” Kali ini tawanya lebih membawa suasana.

“Kalau begitu benar aku, kan? Kamu selalu mengikutiku.” Tanyaku.

Kresna mengangguk menyisakan ruangan yang sangat ramai dan hingar bingar jalanan yang sama sekali aku tidak merasa terganggu. Aku menikmati hal yang aku benci, yaitu keramaian. Aku menikmati setiap senyum dan tawa yang ia buat. Aku sangat menikmati segelas Cappucino tapi aku lebih suka menikmati wajah teduh Kresna. Tak ada kekurangan dalam sifat, perilaku, dan fisiknya. Lantas kenapa seorang Sania bisa menolak?

“Kresna?” Panggilku. Kali ini Kresna terlihat memilah-milah makanan yang ada di piringnya.

“Kamu gak suka kol gorengnya ya?”

“Bukan. Bukan itu San.”

“Trus? Ada apa?” Aku berhenti sejenak menyisakan setengah porsi nasi yang sudah aku lahap.

“Sekitar dua bulan lagi aku akan pertukaran mahasiswa di Taiwan. Tepat menjelang ujian akhir semester ini dan aku dipermudah dengan ujian lebih dulu sebelum mahasiswa lain.”

“Oh ya? Aku ikut senang, Na. Jangan pernah berpikir aku akan marah kalau rencanamu seperti itu.”

“Aku belum selesai, San. Program magangku di salah satu perusahaan ternama juga sudah diterima. Tempatnya ada di California. Program ini jauh sebelum hari ini terjadi dan minggu lalu yang telah kita lewati takdirnya.”

“Bahkan, kita juga belum memulai apapun kok, Na. Jadi, aku gak masalah akan hal itu. Pergilah selagi kita belum melangkah. Selama itu tidak menyisakan apa pun, aku gak masalah.”

Wajah teduhnya berubah sedikit panik saat mendengar jawabanku yang malas tanpa menatapnya.

“Bahkan, kamu tidak memulai jauh sebelum ini, Na. Harusnya kamu mulai saat satu tahun atau beberapa bulan lalu. Bukan saat ini, saat kita baru akan memulai semua cerita yang aku angan-angankan sejak tadi mengendarai motor dengan setumpuk skenario yang ada di pikiranku.” Ucapku lagi.

“San, aku baru saja memulainya. Dan, aku tidak akan pernah mengakhirinya.”

“Sejak kapan kamu pintar merayu seperti itu, Kresna? Kamu kan laki-laki berkharisma dan berwibawa yang diidam-idamkan mahasiswi adek tingkat.” Aku terkekeh. Suasana yang sudah sedikit tegang perlu aku kembalikan sedikit demi sedikit.

“Aku serius, San. Aku bukan merayu.” Mata lelah dan sayunya sangat jelas ketika ia melepas kacamata.

“Baiklah pohon teduh.” Jawabku.

    Ia tersenyum dan yang aku lihat dari bola matanya hanyalah harapan keseriusan atas ucapan seorang Sania.

****

Tempat tidur dan meja riasku berantakan sejak tadi malam. Aku memilah barang apa yang harus aku bawa pergi untuk keperluan toko. Pagi ini aku akan pergi ke ruko tempat aku memulai bisnisku satu bulan lalu. Enam minggu lalu saat Kresna berhasil memberi sekaligus mematahkan harapan dari sebuah hubungan yang baru saja akan aku tulis sendiri di pikiranku, saat ini aku sedang berusaha menyusul kesuksesannya. Sejatinya disini tidak ada yang tertinggal atau mendahului. Sama sekali tidak.

Jauh dalam lubuk hati seorang Sania yang terkadang kekanakkan, di sana ada bisik seruan kebanggan dariku untuk Pohon Teduh ku. Iya, sekarang aku lebih suka menamainya ‘Pohon Teduh’.

“Bunda, aku pergi ya.” Aku bergegas menghampiri Bunda yang sibuk membuat brownies kesukaanku.

“Kamu gak mau nunggu browniesnya jadi dulu San?”

“Bunda, Sania harus ke toko Bun. Mau lihat udah sejauh mana perkembangannya. Pamit ya, Bun.” Aku berlari ke arah pintu.

“Kresna mana?” Suara Bunda tetap terdengar meskipun Bunda menanyakannya dari dapur.

“Kresna sudah di depan kok, Bun. Aku berangkat ya..”

Suara decitan pintu rumahku bersamaan dengan suara motor vario Kresna yang baru saja dinyalakan.

“Kamu mau langsung ke toko? Gimana sebulan ini perkembangannya?”

Laki-laki yang sering aku sebut pohon teduh tapi kenyataannya dia memiliki kekhawatiran yang lebih riuh. Keputusanku untuk memulai bisnis sebelum ia berangkat ke Taiwan dan Amerika disambutnya dengan banyak pertanyaan persis seperti saat ini. Baru saja aku akan menggunakan helm tapi sederet pertanyaan karena kekhawatirannya selalu muncul lebih dulu dibanding kekhawatiranku pada diriku sendiri.

“Kresna, kamu udah mau ke Taiwan, ke California, masa aku masih di sini aja. Aku juga bisa kan sedikit demi sedikit berkembang lebih baik lagi nyusul kamu.” Jawabku.

“Sania, hal tentang aku bisa pertukaran mahasiswa dan kamu mahasiswi Indonesia itu bukan perlombaan, San.”

Entah yang ke berapa kali Kresna selalu mengingatkanku akan hal itu. Permasalahan dan segala skenario dunia itu bukan perlombaan siapa yang lebih dulu sampai di garis finish. Tapi, semuanya akan tiba di waktu yang tepat. Tidak peru terburu-buru kata Kresna. Yang terpenting kita bisa sampai tujuan.

“Iya, aku paham kok Na. Ayo jalan.” Aku tersenyum.

Jarak antara Bekasi dan Menteng terasa sangat jauh bagiku. Ntah bagaimana menurut Kresna. Ia selalu paling sigap saat aku membutuhkan kendaraan untuk mengurus bisnis yang baru saja aku rintis. Dari pembelian bahan baku dan segala keperluan toko Kresna yang selalu menemaniku. Dia yang paling sering menanyakan keberadaanku. Sedangkan Bunda melepaskan aku sebagaimana anaknya yang sudah seharusnya dewasa dan berkelana.

 ‘Dimana?’

Kata itu yang selalu ia gunakan saat mengetahui bahwa aku sedang tidak berada di rumah. Terlebih lagi Kresna sangat sering menanyakan pada Bunda apakah aku sedang di rumah atau tidak.

Kresna yang aku lihat dahulu, Kresna yang aku pikir adalah manusia dingin, dan Kresna yang aku kira selalu ramah, ternyata tidak sepenuhnya benar. Laki-laki yang mengintaiku sejak satu tahun lalu itu sangat membutuhkan informasi keberadaanku saat tidak bersamanya. Aku yang selalu berpikir bahwa dia tidak peduli tapi kenyataannya dia yang paling mengerti aku. Saat semua orang mengira dia manusia yang paling ramah dan murah senyum, nyatanya dia tetap manusia yang memiliki batas dan waktu kapan dirinya harus tegas dan bijak.

“Kresna?”

    Hembusan angin Jakarta dan motor vario dari Bekasi ini yang akan aku rindukan nanti. Menjelaskan seolah-olah aku yang akan pergi. Padahal laki-laki yang sedang di depanku yang akan melanglang buana.

“Kenapa San?” Kresna membuka kaca helmnya. Memandangku dari kaca spion. Dan senyum manisnya selalu menjadi hal yang paling aku suka.

“Bekasi - Menteng terasa jauh kan ya?” Aku tertawa kecil.

Lalu ia ikut tertawa.

“Kan aku dari Bekasi naik motor San.”

“Kalau nanti kamu di Taiwan, di Amerika, gak akan ada lagi yang antar jemput aku dong?”

Aku bisa melihatnya tersenyum. Ada sedih di bola matanya yang dapat aku rasakan juga.

“San, aku juga pasti rindu. Kamu pasti jadi pertanyaanku di setiap waktu yang berlalu.”

“Kamu belajar ngerayu gitu dari siapa sih, Na?” Aku tertawa. Meski aku sangat mengetahui hatiku tidak sedang baik-baik saja.

“San, program pertukaran mahasiswaku hanya 3 bulan. Dan program magangku hanya 6 bulan.”

“Hampir setahun kan, Na? Belum lagi rencana istimewa lainnya yang belum aku tau.”

Motor Kresna berhenti tepat di bangunan bercat warna cream.

“Sania, aku berani memulai karena aku tau kalau kamu bisa jadi bagian dari cerita ini. Aku yakin kamu selalu jadi orang pertama yang mendukung cita-citaku.” Ia melepas helmku.

“Kamu yakin sama aku Na?”

“Aku percaya, San. Kamu adalah orang yang sangat berpengaruh di perjalananku menuju tujuan. Kamu adalah sosok yang tidak akan bisa tergantikan. Setelah semuanya selesai, aku janji akan pulang.” Ia tersenyum lagi. Dan, senyum manis itu yang akan selalu aku ingat.

Thursday, October 1, 2020

Bagian Kedua: Buku Baru

Tidak terasa hari ini sudah sampai di hari Sabtu. Kebanyakan orang pergi bersama kekasihnya, beberapa sibuk dengan rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan, dan beberapa yang lain merenung di dalam rumah. Ah, persis seperti aku. Dari pagi sampai larut hanya membaca novel karya Azhar Nurun Ala.  Beberapa kali ada notifikasi dari handphone tak aku hiraukan.

Kalian tau? Sejak Kresna menawarkan padaku untuk mengantarkan pulang, grup whatsapp yang beranggotakan aku, Ge, Pra, dan Siska menjadi sangat ramai. Tiga hari lalu saat Kresna menawarkan tawaran yang sangat meluluhkan hati, aku ceritakan pada mereka atas semua kebimbanganku kala itu. Aku tidak mengatakan pada mereka dimana kami bisa berbicara berdua tanpa ada orang. Imbasnya, mereka berhasil membodoh-bodohi diriku karena menolak tawaran menggiurkan yang semua wanita pasti menginginkannya.

Kata Pra, “Sania, apa yang ada di pikiran kamu sampai bisa menolak tawaran untuk pulang bareng sama Kresna?”

Kata Ge, “Kok bisa sih San? Tapi kalau memang mau nolak kan bisa bilang baik-baik, nggak kabur gitu aja.”

Oiya kalian tau respon Siska? Saat itu dia bilang begini, “San, manusia aneh deh. Kalau jauh suka berharap dekat. Pas deket, malah kamunya yang ngejauh.”

            Perkataan mereka tidak ada yang salah. Hampir semuanya benar. Sania memang aneh. Bagaimana bisa sejak dua tahun lalu, aku yang selalu memandang Kresna dari jauh lalu berhasil menolaknya mentah-mentah?

            Saat Kresna memberikan tawaran itu padaku lalu dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban adalah kesalahan besar. Harusnya dia menunggu jawabanku supaya aku tidak disalahkan, harusnya dia menunggu sampai mulutku mau menjawab. Jika saja ia menunggu kepastian, jika saja seorang Sania tidak ditinggalkan begitu saja, mungkin jawabannya akan berbeda. Mungkin saja saat hari Senin itu menjadi hari pertama Sania diantar oleh laki-laki yang selama ini Ia damba. Mungkin.

            Cerita penolakan itu dimulai saat Kresna pergi meninggalkan Sania dengan buku yang belum sempat aku ucapkan terima kasih. Bimbang, bingung, bisa aku rasakan sendiri di Lantai 6, koridor favoritku sejak semester lalu. Tidak ada yang tau, tapi kenapa dia bisa mengetahui tempat itu? Aku juga belum menemukan jawabannya. Sesaat setelah Kresna pergi, aku juga kembali bertemu teman-temanku di kantin. Sudah menjadi rutinitas kami setelah selesai jam kuliah, pasti kami menjadi penunggu kantin sampai larut malam.

            Usai cerita, mereka membujukku untuk menerima penawaran dari Kresna. Hati kecilku berkata “Bagaimana bisa seorang laki-laki yang sudah melihatku dari setahun lalu, sudah memperhatikanku, tapi satu kali pun tidak pernah menyapaku? Padahal ia sangat sadar aku selalu berada di sekitarnya. Setelah satu tahun ia melihatku dan memerhatikanku, baru kali ini dia mendekat dan mengajak bicara. Itu pun karena takdir yang membuat cerita handphoneku tertinggal di stand organisasinya. Kalau tidak begitu, bukankah dia tidak ada niatan untuk mendekat?”

            Sore hari di mana semua mahasiswa sudah menyelesaikan kelasnya dan beberapa stand organisasi sudah mulai menutup acara hari ini, aku melihat Kresna menunggu di lobby. Sibuk sekali ia dengan handphonenya. Beberapa mahasiswi juga terlihat melewatinya dengan menyapa dan tersenyum.

“Kresna bodoh.” Gumamku pelan sambil tersenyum.

            Aku memerhatikannya dari pintu kantin. Sendirian. Teman-temanku sudah pulang lebih dulu. Lagipula, apa dia tidak terpikir untuk meminta nomer handphoneku? Hatiku tidak bisa berbohong kalau aku kasihan melihatnya yang sudah menunggu lebih dari 2 jam yang lalu. Dua jam dia menungguku dengan tenang di kursi standnya. Dua jam pula aku memerhatikan dia dari balik pintu kantin dan dia tidak juga menyerah.

            Pukul 19.30 kampus sudah mulai lengang. Nampaknya, hari ini mahasiswa banyak yang masih belum teratur jadwal perkuliahannya. Wajar saja, biasanya minggu pertama kuliah beberapa dosen masih berhalangan hadir dan banyak perubahan jadwal. Di seberang, aku melihat Kresna masih duduk dengan tenang. Sesekali ia melihat jam di pergelangan tangannya memastikan bahwa waktu akan cepat membawaku padanya.

            Aku sudah mulai lelah untuk melihatnya segera pulang. Apa ia tidak lelah menunggu sudah hampir 3 jam? Apa aku harus memunculkan diriku di hadapannya? Satu langkah sebelum aku membuka pintu kantin, Kresna berdiri dari tempat duduknya sambil melihat keadaan di sekitarnya. Terlihat ia memastikan sekali lagi aku benar-benar tidak datang dengan membenarkan letak kacamatanya. Raut wajahnya tampak lelah dan kecewa. Lalu ia melangkah keluar lobby. Dan aku? Aku melangkah keluar 15 menit setelah Kresna memutuskan untuk pulang tanpaku.

***

Tok Tok Tok. Suara ketukan pintu terdengar dengan jelas. Aku yang duduk di kursi gantung kesukaanku menoleh seketika. Tempat favorit yang menenangkanku dari isi kepala yang rumit.

“San, makan dulu” Panggil Kak Fiya dari pintu.

“Nanti dulu kak.”

“Dipanggil Bunda tu. Katanya mau tanya ke kamu.”

Aku menoleh pada Kak Fiya. Berharap menmemukan jawaban ‘Bunda mau tanya tentang apa?’

Kak Fiya salah satu sepupu terdekatku yang berasal dari Jambi. Karena dia lolos sebagai Mahasiswi Universitas Indonesia, ia ikut tinggal dengan Bunda dan juga menemaniku saat Bunda dan Ayah keluar kota. Sedangkan adikku berkuliah di Jogja. Itulah alasan kenapa kami jarang sekali bertemu.

“Kamu kenapa, San? Galau terus kamu ih”

“Gakpapa kok, Kak. Lah emang kenapa?” Tanyaku sambil menuruni anak tangga satu per satu.

“Yakin? Ya sudah kalau kamu belum mau cerita. Cepat sana, kamu dipanggil Bunda katanya urusan penting. Kak Fey mau ke kampus ada rapat. Lain kali hati-hati menaruh daily journalmu ya” Ucapnya sambil tertawa jail. Aku baru ingat kalau hari Jumat lupa menyimpan Daily Book di box buku. Astaga, kecerobohanku dari dulu memang tidak pernah hilang.

Aku membuka pintu kamar bunda perlahan, takut mengganggu bunda saat masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya.

“Bun,” Panggilku dengan lembut sambil membuka pintu secara perlahan

“San, sini duduk. Bunda mau bilang.”

Aku melangkahkan kaki masuk ke kamar Bunda dan Ayah.

“Ini ada paket lagi buat kamu. Tapi tadi yang nganterin temen kuliah kamu, katanya kamu marah sama dia jadi ini dititipin ke Bunda.”

Diberikannya sebuah paket dengan sampul coklat disertai alamat lengkap rumahku dan tertera namaku di atasnya. Ini pasti perbuatan Kresna. Iya kan? Siapa lagi yang tau alamat rumahku selain dia?

“Bun, makasih ya. Nanti coba Sania hubungi teman Sania.”

Bunda mengangguk, lalu aku berlalu meninggalkan kamar bunda.

“Lain kali jangan marah sama teman ya, San. Baru kali ini Bunda tau kamu marah sama temanmu. Biasanya kamu kan ngga bias marah.”

Aku menyeringai malu, “Iya Bunda, maaf.”

Sejujurnya tidak ada yang marah di sini. Kresna ataupun aku. Lagipula beberapa hari lalu aku hanya tidak ingin diantar pulang olehnya. Aku masih kurang yakin dengan laki-laki yang dikagumi banyak wanita itu. Meski terlihat begitu meyakinkan, bisa jadi secara diam-diam dia sudah mematahkan hati banyak wanita sejak dulu.

Aku meletakkan bingkisan besar yang ukurannya hampir sama dengan kardus air mineral. Perasaanku berkecamuk, senang, tapi aku tidak tau bagaimana cara menyikapi seorang Kresna.

Aku membuka bingkisan besar itu perlahan. Surat beramplop coklat klasik tertulis namaku di bagian depannya.

***

Dear, Sania Kayla.

    Hai, San? Bagaimana kabarmu? Semoga tetap baik dan sehat selalu.

    Kamu tau San? Sejak hari kamu menghilang karena aku mengajakmu pulang, aku sangat gelisah. Aku tidak tau letak salahku dimana. Aku hanya ingin menunjukkan padamu bahwa sejak satu tahun yang lalu, aku melihat gadis lugu, kecil, di depan kampus yang ternyata sedang menunggu teman-temannya membeli rujak itu menarik perhatianku.

    Berkali-kali melihatmu di lobby, bahkan aku sering melihatmu di lorong koridor lantai 6 sedang membaca buku. Itu kenapa minggu lalu aku berikan satu buku untuk mengisi waktu senggangmu.

    Aku tidak marah saat kamu menghilang. Sungguh. Maka karena itu aku kirimkan satu box frozen food dan juga pempek untuk keluargamu. Semoga kamu suka ya. Kebetulan ayah dan ibuku baru saja pulang dari Palembang.

    Aku sertakan juga botol minum dengan motif klasik kesukaanmu. Benar kan? Aku tau, kamu suka yang simple tapi elegan. Dan sekali lagi semoga kamu suka. Di antara teman-temanmu, aku paling jarang melihatmu membawa air mineral. Jadi, bawa botol ini saat kuliah.

    Sudah dulu, nanti akan aku kirimkan surat lagi jika aku belum melihatmu berkeliaran di kampus seperti biasa. Harap diterima dengan baik ya semua ini. Maaf merepotkan dengan melibatkan Bundamu.

 

Salam,

 

Kresna Erlangga

 

***

“San, Bunda sama Ayah kamu dari Palembang? Tumben kamu bawa bekal pempek banyak banget gini. Biasanya kan kamu paling males bawa bekal.” Tanya Ge yang asik menikmati pempek dengan Pra dan Siska.

“Bukan, itu dari Kresna.”

“Hah? Gimana ceritanya? Bukannya terakhir Kak Kresna ngajak pulang tapi kamunya kabur ya?” Kali ini pertanyaan Pra sedikit mengisyaratkan kalau memang Sania sangat salah sudah menolak Kresna.

“Ya gitu, dia nganter ke rumah.”

        Mereka menarik kursi agar lebih dekat denganku dan mendengarkan dengan serius. Padahal sebelumnya mereka selalu menganggap semua hal bercanda.

“Bagaimana dia bisa tau alamat rumahmu sedangkan kita aja ngga tau San?” Siska tampak antusias sekali mendengarkan cerita tentang Kresna. Aku menaikkan bahuku. Tidak ingin menjawab lebih detail lagi. Aku sendiri saja tidak paham dengan sifat Kresna.

    Kelas selalu nampak gaduh. Sekalipun aku menceritakan Kresna dengan keras pun tak akan ada yang berhasil mendengarnya dengan baik.

“Apa gak sebaiknya kamu bicarain berdua sama Kak Kresna, San? Menurut aku daripada salah paham lagi dan dia selalu tiba-tiba mengirimkan sesuatu yang ngga pernah kamu duga sebelumnya dan terlebih kamu kurang suka cara seperti itu, saranku sih mending kalian berdua bicara.” Nasihat Ge tampak sekali kedewasaannya. Kali ini entah kenapa aku merasa berbeda. Biasanya aku antusias sekali menceritakan dan sekadar ingin didengarkan. Biasanya aku bercerita tanpa mengharap nasihat apapun. Kali ini, nasihat Ge aku terima dengan telinga dan hati terbuka seolah membenarkan. Toh, apa salah Kresna? Bagaimana bisa baik-baik saja kalau aku tidak pernah mengutarakan apa yang aku risaukan sejak lama?

“Iya ya Ge, thanks sarannya. By the way, kalo sudah ada dosen tolong beri tau aku ya. Aku mau ke bawah sebentar.”

Aku segera berlari menuju lift dan turun ke lantai dasar. Tujuanku hanya lobby kampus. Barangkali aku menemukan Kresna disana. Barangkali Kresna menungguku dengan manis di stand lobby nya. Iya, barangkali harapanku kali ini begitu banyak.

Aku berlari menyeberangi gedung kampus untuk menuju ke lobby pusat. Aku memperhatikan sekitarku yang lengang karena ini adalah jam perkuliahan. Aku hampir kehilangan harapan. Tapi, aku tau kalau organisasi yang diikuti Kresna sering kali membuka stand paling lama dibanding organisasi lain.

Langkahku mulai aku kendalikan agar lebih pelan dan mengatur nafasku yang tersengal. Tepat di depan pintu lobby sosok itu berdiri tegap. Jarak dua meter nampaknya menghentikan langkah kaki kita berdua. Tidak ada yang maju jua tidak ada yang melangkah pergi meninggalkan. Kami terdiam. Bisu. Saling menatap. Aku ingin sekali mendekat, memulai kembali apa yang pernah aku buat masalahnya sendiri.

Ia mendekat langkah demi langkah. Wajahnya yang terlihat lelah sudah pasti dia akan melewatiku begitu saja. Lagi pula wanita mana yang berani menolak Kresna? Pasti wanita yang didekatinya langsung meng-iya-kan tanpa berpikir panjang.

“San?”  Ia berhenti di hadapanku dan memanggilku dengan lembut. Menatap mataku sangat dalam seperti ada yang ingin ia cari.

“Kamu masih ada jadwal kuliah?” Tanyanya sekali lagi.

“Satu mata kuliah lagi. Selesai jam 13.15” Ada apa denganku? Toh Kresna tidak mau tau juga aku akan selesai perkuliahan jam berapa pun.

“San,”

“Ya?”

“Jangan langsung pulang ya nanti. Biar aku antar.” Ucapnya dengan sedikit ragu.

Andai sejak dua tahun lalu dia tau kalau hal yang seperti ini yang selalu aku tunggu darinya. Sosok nan meneduhkan dan tidak pernah marah ini yang menutup segala ruang di hati Sania. Yang membuat diriku ragu, kesal, dan ingin memarahinya saat aku tau kalau dia mengamatiku sejak satu tahun lalu. Tidak bisa kah satu tahun lalu dia memulai semuanya?

“Tunggu aku di lobby setelah jam perkuliahan selesai. Aku janji kali ini aku akan datang.”

Sunday, September 27, 2020

Lembar Pertama


    Panggil aku “San” si gadis lugu dan paling kecil di antara teman-temanku yang kini mulai berani membagikan rahasia besarnya tentang cinta. Tentang laki-laki yang pernah merubah dirinya dan hidupnya.

Hari ini adalah hari pertama masuk kuliah setelah liburan panjang. Rasanya rindu sekali berkumpul dan bercerita dengan teman-teman dekatku. Aku yang sudah duduk di semester tiga ingin memulai kegiatanku bukan lagi sebagai mahasiswi kupu-kupu alias kuliah pulang. Keputusanku untuk mengikuti recruitment panitia sebuah event di salah satu organisasi kampus membawa langkah kaki ku ke lobby dan ikut berkerumun layaknya mahasiwa baru. Jangan ditanya seperti apa rasanya berdesakan, nyatanya tidak jauh berbeda seperti di stasiun. Aku paling tidak suka keramaian yang membuat kepalaku pening.

“Sania?”

“Hah? Aku?”

“Iya kamu, Sania Kayla kan? Handphone kamu ketinggalan”

Aku mengangguk lalu menatapnya dengan wajah lugu dan heran kenapa laki-laki itu bisa tau namaku. Laki-laki yang tidak terlalu tampan tapi berkharisma berjalan mendekatiku.

“Oh oke, thank you kak” Aku canggung menerimanya.

“Hai, maaf ya tadi aku tau nama kamu dari list pendaftaran organisasiku. Besok boleh main ke stand lagi kok.”

“Hmmm? Baik, terima kasih ya kak.”

”Lain kali hati-hati ya”

Aku menganggukkan kepalaku dan dia pun berlalu menghampiri teman-temannya yang sedari tadi memperhatikan kita berdua. Sorak sorai bercandaan mereka yan ditujukan untuk dia dan menyebut namaku berulang kali juga terdengar jelas. Aku tau dia adalah kakak kelasku di SMA hingga kini di bangku kuliah. Ia mahasiswa teladan yang hampir semua dosen mengenali namanya. Aku terkejut saat dia mengetahui namaku, karena selama aku mengetahui tentang dirinya, hanya aku yang melihatnya. Di sekolah dia tidak pernah melihatku karena memang kami beda jurusan.

“San?’ Aku terkejut mendengar seseorang memanggilku yang ternyata Gea.

“Iya? Ada apa? Kaget aku”

“San, kakak yang tadi siapa?”

“Yang nganterin handphone maksud kamu?”

“Iya”

“Oh, dia namanya Kresna. Dulu dia juga kakak kelas di SMA tapi dia tidak mengenaliku karena beda jurusan. Dan kebetulan sekarang dia satu kampus dan satu jurusan juga.”

Kalau saja boleh jujur, laki-laki itu tak pernah hilang dari ingatanku, tak pernah lupa. Selama 2 tahun mengetahuinya adalah sebuah kebahagiaan jika waktu dengan baik memperlihatkan dia meskipun waktu tidak pernah membuatnya melihat padaku. Sebenarnya, tidak ada hal yang spesial dari dirinya. Layaknya gunung akan terlihat sama di mata semua orang, dan hanya beberapa orang yang hanya bisa memandang gunung yang sebenarnya memiliki sejuta keindahan saat mendakinya. Maka, seperti itulah aku melihatnya.

****

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 akan tetapi belum ada tanda-tanda dosen akan datang. Ruangan kelas tampak gaduh dengan kesibukan masing-masing dan beberapa orang belum hadir karena barangkali mereka telah menebak kelas kali ini akan terlambat. Dan beruntungnya, benar begitu. Sedangkan teman-temanku yaitu Prada, Gea, dan Siska masih sibuk membicarakan Kresna, senior yang mereka lihat tadi pagi.

“San, kamu ga pernah suka orang ya?” Tanya Prada.

“Hah? Kamu pikir aku gak normal ya?”

“Bukan, habisnya terlalu aneh, dua tahun kamu tau Kak Kresna tapi ga ada perasaan apa-apa. Aku dengar, dia dekat dengan Sherin angkatan kita.”

“Biasa saja.” Jawabku.

Pra melirikku dengan tajam memberi isyarat bahwa dia tak suka dengan jawabanku. Kalau saja Pra tau, setiap perasaan itu tidak harus diungkapkan, bukan? Aku hanya takut, perasaan yang berumah tidak selamanya membuat nyaman. Aku hanya takut, saat aku pulang ke rumah itu aku tidak disambut dengan bahagia dan suka cita. Aku khawatir akan ekspektasiku bahwa makna pulang adalah sebenar-benar tempat istirahat. Bukan untuk sesaat. Akan tetapi, aku mau selama aku lelah aku bisa pulang padanya.

“Aku lebih suka sendiri, Pra.” Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulutku.

“Maksudnya?”

“Aku lebih suka sendiri jadi aku ga bersalah karena ga bergantung sama orang lain.”

Betul kan? Bergantung pada orang lain memang tidak pernah seindah yang kita bayangkan. Lagipula apa baiknya? Tidak mandiri, tidak juga bisa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Sebagai anak pertama, aku banyak diajarkan tentang memelihara tanggung jawab oleh kehidupan dan keriuhannya di setiap detik yang berlalu.

Sampai pukul 14.00 dosen kami tak kunjung hadir dan kami diinfokan bahwa beliau memang berhalangan untuk mengisi kelas hari ini. Aku dan Gea memutuskan untuk ke perpustakaan, sedangkan Siska dan Prada memutuskan untuk mencari jajanan di depan kampus. Saat itu aku lupa, untuk menuju perpustakaan kami harus melewati banyak stand organisasi di lobby kampus yang 3 hari ini berlangsung expo organisasi untuk mahasiswa baru. Kemarin aku mengunjungi Himpunan Manajemen untuk mendaftarkan diri sebagai panitia acara yang akan diselenggarakan bulan depan. Aku juga tak pernah lupa kalau Kresna adalah salah satu dari sekian banyak anggota dalam himpunan itu. Tenang, ingatanku tentang dia aku jamin akurat. Dan permasalahanku saat ini adalah aku akan melewati stand itu lagi dan ada kemungkinan bahwa aku akan bertemu dengan Kresna. Lagi.

“Ge?” Panggilku saat langkah kami menuju ke lobby.

“Kenapa San?”

“Ada jalan lain gak?”

“Hah?” Gea menggumam heran.

“Kenapa San? Takut ketemu Kresna ya?” Tanyanya.

Aku menatapnya, mengharap ada iba darinya. Hati kecilku tau, pasti tidak akan mudah melewati lobby kampus meski banyak manusia berlalu lalang, meski aku tau semua orang memperhatikan dia, dan meski aku tau waktu tidak akan pernah membuatnya melihat padaku juga.

“San..Ke perpustakaan mau lewat jalan manapun tetap harus lewat lobby dulu kan?” Jawab Gea.

“Oiya ya” Aku pasrah dan mengikuti langkah Ge yang sudah siap memasuki lobby kampus beberapa saat lagi.

Dua belas langkah lagi menuju pintu lobby tapi rasanya sudah tak karuan. Please San, ini sama seperti dua tahun silam saat tanpa sengaja kamu melihatnya. Bisa kan seperti itu? Memang rasanya sesak, tapi bukankah hebat jika bisa dikendalikan? Oke, tarik nafas, hembuskan..

Lobby kampus tampak ramai dengan mahasiswa baru yang sedang mencari organisasi untuk mengembangkan softskill yang mereka punya. Aku menunduk mengikuti langkah kaki Gea sambil  berharap tidak melewati depan stand milik Kresna. Sudah cukup setelah dua tahun silam sejak di bangku kelas 11 terakhir aku melihatnya. Aku rasa cukup untuk mengaguminya. Lagipula apa dayaku yang masih berusaha diam? Berusaha untuk melupakan semua yang aku rasakan.

“Kan, gak ada Kresna kok San. Kamu terlalu khawatir deh. Sebegitu takutnya ya?” Ungkap Gea usai kita sampai di lift lantai 4.

“Malu aja tadi kan handphoneku ketinggalan.”

“Dia pasti lagi ada kelas San. Sekarang kan memang jam perkuliahan.” Ucapnya. Aku mengangguk sambil melangkah karena lift kami sudah tiba di lantai 4.

****
Aku bukan anak yang mengisi waktu luangku dengan belajar seperti mahasiswa pintar lainnya. Aku dan Gea sengaja ke perpustakaan hanya untuk mencari wifi untuk menonton film atau hanya sekadar mencari hal-hal yang kami suka di laman internet.

Pandanganku tertuju pada bilik yang berada di pojok perpustakaan dan ingin meminta pada Gea untuk duduk di bilik yang cukup luas itu. Niat itu aku urungkan saat melihat Sherin, dua temannya, dan tentunya ada Kresna.

Ia tampak seperti dulu, memakai kacamata, memakai kemeja, dan rapih. Tidak putih dan tinggi. Tapi juga tidak pendek dan tidak gempal. Postur tubuh yang sedikit berisi dan memiliki standar tinggi pria pada umumnya. Jikalau boleh dibilang, dari tampilan saja sudah terlihat dia anak yang pintar.

“San, di ujung kanan dekat jendela saja ya?” Tanya Gea.

Aku mengangguk dan mengikuti langkah Ge yang semakin jauh dari tempat keberadaan Kresna. Ah, Sani, apa masih belum lelah juga mengejar manusia yang tidak pernah sadar? Bukankah sudah cukup?

***

Di ujung koridor lantai 6 gedung kampus aku menikmati waktu luangku dengan membaca novel yang baru saja datang kemarin. Aku tak pernah tau pengirimnya siapa, karena memang dengan sengaja tidak dicantumkan. Awalnya aku pikir paketnya salah alamat, tapi pada bagian paketnya tertuju “untuk Sania” dengan alamat rumah yang juga tepat. Di dalamnya aku menemukan secarik kertas yang isinya,

“Teruntuk Sania,

Semoga suka dengan bukunya.

Semoga buku ini selalu bisa menemani kamu saat membutuhkan teman bicara.”

Berkali-kali aku membuka setiap lembarnya berharap menemukan siapa pengirim novelnya. Tapi nihil, tidak ada tanda apapun. Aku memutuskan untuk memulai membacanya saja. Siapa pun itu, aku ingin berterima kasih karena sudah mengirimkan novel di waktu yang tepat.

“Hai San..”

“Hmmm..?” Panggilan Gea yang membuatku tetap fokus pada novel baruku.

“San, seru gak novelnya?” Tanyanya lagi.

Aku menoleh kaget. Dugaanku salah, dia bukan Gea. Panggilan itu dari Kresna. Aku membelalak masih tidak percaya. Sejak kapan manusia ini melihatku duduk di koridor favoritku? Bahkan di antara teman-temanku, hanya Gea yang tau tempat ini, itu pun ia terus mengeluh kalau tempat ini kurang nyaman karena memang tidak ada pendingin ruangan.

”Oh hai Kak. Aku pikir siapa.” Aku meringis. Canggung sekali rasanya, sejak dua tahun lalu kagum, baru kali ini dia melihat ke arahku. Sendiri pula.

“Gimana? Suka sama bukunya?” Tanyanya.

Ada apa dengan manusia ini? Suka sekali membuat jantungku berdetak tak karuan? Suka sekali membuat orang lain menatapnya lebih lama karena heran atas perbuatannya yang tidak pernah diduga? Suka sekali membuat semua orang melihat kagum padanya?

“Hah? Ini darimu, Kak? Sejak kapan Kamu tau alamat rumahku?” Aku harus menguak rasa penasaranku saat ini juga.

“Sejak aku melihatmu.” Ia melirik ke arahku.

“Kita kan baru bertemu dua minggu lalu saat expo.” Gumamku berbohong padanya. Padahal aku melihatnya sejak dua tahun lalu.

“Aku melihatmu sejak satu tahun lalu. Saat kamu masih semester satu. Masih lugu, juga polos.” Ungkapnya.

Aku tertawa mendengar pernyataan itu. Sedikit tidak percaya.

“Kalau dua minggu lalu aku baru tau namamu itu memang sungguhan.” Lanjutnya.

“Lalu? Kakak bisa tau alamat rumahku dari mana kalau baru tau namaku dua minggu lalu?”

Aku masih sibuk membuka setiap lembaran bukunya untuk menghilangkan degup jantung yang tidak karuan. Semoga saja dia tidak mendengarnya.

“Aku mengikutimu sampai rumahmu.”

“Please Kak, jangan bercanda. Itu gak akan mungkin.” Aku gusar.

“Loh? Aku gak berbohong, San. Kalau sore ini kamu memintaku untuk mengantarmu sampai depan rumah tanpa melihat maps aku bisa loh.”

Aku dibuat tercengang oleh laki-laki di sampingku. Sejak kapan dia melihat ke arahku? Sejak kapan dia menatap ke arah bola mataku sedalam itu?

Kresna beranjak dari tempat duduknya di sebelahku seraya menatap lorong lantai 6 yang hanya ada Office Boy membersihkan jendela. Ia berbalik ke arahku yang masih nyaman duduk di lantai. Lantas, aku bergegas menutup novelnya dan mengikutinya berdiri. Tepat di hadapannya, dengan jarak 1 meter, aku berusaha tetap menunduk meskipun aku menyadari tinggi tubuhku paling tidak hanya sepundaknya.

“Pulang nanti aku antar ya. Biar kamu gak mengira kalau aku bohong.” Celetuknya.

“Hm? Gak usah, Kak. Aku biasa naik transjakarta kok.”

Bohong kalau aku tidak mau. Aku hanya khawatir setelah hari ini dia tidak muncul lagi di hadapanku. Bisa jadi, ini kali pertama juga terakhir dia melihat ke arahku.

“Sudah, ga apa. Nanti aku tunggu di lobby saja ya, di stand organisasiku. Anggap saja hari ini kamu libur jalan ke halte yang panjang itu. Kebetulan hari ini aku bisa pulang sampai malam.” Ia tersenyum.

Ia meninggalkanku tanpa ada jawaban dariku. Apakah dia tidak takut? Bagaimana kalau sore nanti aku tidak datang? Apa dia tidak khawatir ucapannya yang meluluhkan itu bisa ditolak oleh Sania? Ia meninggalkanku bahkan sebelum aku mengucapkan terima kasih untuk novel yang diberikannya.

Bagian Ketiga: Pohon Teduh

       Jalanan Jakarta tampak sedikit lengang. Kendaraan berlalu lalang tak jadi halangan bahwa kisah Kresna baru akan dimulai dengan awal y...